samudrafakta.com
Bedah Fakta

Membongkar Praktik Neo-Kolonialisme: Penjajahan Baru yang Tak Disadari oleh Masyarakat Dunia

Sentimen rasial dan perendahan terhadap peradaban di negara-negara Asia dan Afrika merupakan buah karya dari kaum neo-kolonialis. FOTO: ILUSTRASI CANVA
Pada masa kini, sebenarnya praktik kolonial tak pernah hilang. Kolonialisme tetap berlangsung, namun menggunakan “baju baru”. Praktik penjajahan baru yang kerap tak disadari oleh sebagian besar masyarakat dunia, termasuk Indonesia. Untuk bisa menyadari fenomena ini, kajian poskolonial perlu terus digencarkan.

Istilah kolonialisme barangkali sudah tidak asing bagi sebagian besar masyarakat. Secara singkat, kolonialisme merupakan sebuah fenomena politik-ekonomi di mana suatu bangsa melakukan ekspansi kekuasaan ke penjuru dunia. Misalnya, bangsa Portugis, Inggris, dan Belanda, mencatatkan sejarah kolonialisme di Indonesia.

Setelah kolonialisme modern berakhir, bukan berarti praktik penjajahan benar-benar hilang. Tidak. Praktik itu tetap berlangsung, hanya saja berganti strategi. Agar kita bisa membaca strategi tersebut, lalu terbebas darinya, maka perlu mengetahui kajian serius tentang kondisi dunia masa kini dengan teori poskolonial.

Secara sederhana, poskolonial bisa diartikan sebagai “kajian terhadap praktik penjajahan yang telah diperbarui” atau “neo-kolonialisme”. Bisa juga dipahami sebagai sebuah kajian mengenai sebagai teori, wacana, dan istilah yang digunakan untuk memahami masyarakat bekas jajahan, terutama sesudah berakhirnya imperium kolonialisme modern pada pertengahan abad ke-20.

Baca Juga :   Proyek Deislamisasi Snouck Hurgronje [1]: Dimulai dari Mengaburkan Sejarah Masuknya Islam di Nusantara

Kajian poskolonial membedah fakta bahwa neo-kolonialisme tidak dijalankan dengan senjata atau penguasaan secara fisik, sebagaimana praktik kolonial modern pada masa lampau.

Para penjajah masa kini bekerja dengan cara menggencarkan narasi-narasi palsu dan mempropagandakannya secara terus-menerus—salah satunya sebagaimana dipraktikkan Snouck Hurgronje yang telah dibahas Samudra Fakta. Tujuannya untuk mengerdilkan peradaban tertentu, agar pihak tersebut bisa dikuasai. Dengan kata lain, bisa dijadikan “koloni secara ideologi”.

Contoh praktik neo-kolonialisme ini—sebagaimana dipaparkan Bernard Dorleans dalam buku berjudul Orang Indonesia dan Orang Perancis dari Abad XVI sampai dengan Abad XX—adalah dengan membangun cara pandang yang timpang antara orang Prancis dan orang Indonesia.

Dalam buku tersebut, Dorleans menulis bagaimana masyarakat Indonesia dipersepsikan oleh orang Prancis sebagai bangsa primitif dan tidak berbudaya.

Kaum neo-kolonialis dengan semena-mena menentukan mana yang “benar” dan “salah” sesuai dengan cara pandang mereka. FOTO: ILUSTRASI CANVA

Orang melayu, oleh orang Prancis, dianggap suka mengolok-olok, mudah berubah, penjilat, licik, pembohong, sombong, dan lebih menyebalkan daripada orang-orang Skotlandia. Tentu saja gambaran semacam itu menjadi gambaran khas superioritas Barat dalam memadang orang-orang Timur yang inferior—yang jelas-jelas bertentangan dengan fakta orang Timur yang beradab dan berbudaya.

Baca Juga :   Dosa Besar Snouck Hurgronje: Menghancurkan Keluhuran Islam Nusantara dan Membuka “Pintu” untuk Kaum Puritan

Pandangan sejalan dengan paparan  Edward W. Said, dalam buku Orientalisme, di mana dia juga menggambarkan orang-orang di dunia Timur—termasuk orang Indonesia—dalam sudut pandang bangsa Barat yang merasa superior.

Cara pandang seperti ini berkembang di seluruh dunia, yang pada akhirnya membentuk persepsi bahwa “orang Timur” itu rendah dan tidak beradab, sehingga menyebabkan ketimpangan hubungan antara Timur-Barat, antara yang superior dan inferior, hingga yang berbudaya dan tak berbudaya.

Celakanya, orang-orang Timur, seperti orang Indonesia, mempercayai narasi-narasi itu, sehingga gampang minder.

Kenapa orang Timur bisa seperti itu?

Artikel Terkait

Leave a Comment