samudrafakta.com
Bedah Fakta

Proyek Deislamisasi Snouck Hurgronje [4-Habis]: Memanfaatkan Gelar “Haji” untuk Mengontrol Orang Islam Nusantara

Kliping koran berbahasa Belanda tentang Ibadah Haji, 1923. FOTO: Surat kabar Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-IndieÌ edisi 10-03-1923
Gelar “haji” atau “hajjah” bagi setiap Muslim yang telah menunaikan ibadah haji hanya berlaku di Indonesia. Gelar yang merupakan langkah politis Belanda untuk mengontrol umat Islam di Nusantara. Ada peran besar Snouck Hurgronje dalam labelisasi politis ini.

Makna politis ibadah haji baru dirasakan secara serius tatkala Hindia Belanda berdiri sebagai penerus kekuasaan VOC. Setidaknya ada dua Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada awal abad ke-19 yang menganggap bahaya politik dari para haji, yaitu Herman Willem Daendels dan Thomas Stamford Raffles.

Raffles, dalam bukunya, The History of Java, bahkan pernah bilang, “Setiap orang Arab dari Makkah, maupun setiap orang Jawa yang kembali dari ibadah haji, di Jawa berlagak sebagai orang suci. Karena mereka (para haji) begitu dihormati, maka tidak sulit bagi mereka untuk menghasut rakyat agar berontak dan mereka menjadi alat paling berbahaya di tangan penguasa-penguasa pribumi”.

Berangkat dari kekhawatiran itulah Ordonansi Haji diterbitkan pada tahun 1825, menyusul terjadinya lonjakan pengajuan paspor untuk keberangkatan haji pada tahun 1824. Pada tahun tersebut, tercatat ada 200 lebih pribumi mendaftar untuk naik haji.

Baca Juga :   Dosa Besar Snouck Hurgronje: Menghancurkan Keluhuran Islam Nusantara dan Membuka “Pintu” untuk Kaum Puritan

Pemerintah Hindia Belanda kalang kabut menyikapi animo tersebut. Ujung-ujungnya paranoid. Mereka berpandangan bahwa keberangkatan umat Muslim menunaikan Rukun Islam ke-5 itu berpotensi menimbulkan perlawanan terhadap mereka setelah para jamaah pulang haji—sebagaimana kekhawatiran yang pernah diungkapkan Raffles.

Menurut catatan Pemerintah Hindia Belanda waktu itu, umat Islam yang pulang haji selalu melakukan perlawanan karena mendapat pemikiran-pemikiran baru ketika kembali ke Tanah Air, setelah bertemu dengan bangsa lain di Tanah Suci dan mendapatkan asupan informasi tentang nasionalisme.

Maka dari itulah Pemerintah Kolonial memutuskan mengawasi orang-orang yang melakukan perjalanan haji, sekaligus mencari cara bagaimana mencegah potensi 200 perlawanan yang mungkin muncul setelah para jamaah itu pulang haji.

Walhasil, terbitlah Ordonansi Haji tahun 1825. Ordonansi ini mengatur pembatasan dan pengetatan jumlah haji yang dibolehkan berangkat. Salah satu caranya adalah menaikkan biaya haji.

Tak cukup sampai di situ, untuk mempersulit umat Muslim berangkat haji, pada tahun 1859 Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan ordonansi baru yang juga menyangkut urusan haji. Ada berbagai pengetatan dalam amandemen ini. Yang paling menonjol adalah pemberlakuan semacam “ujian haji” bagi mereka yang baru pulang dari Tanah suci.

Baca Juga :   Proyek Deislamisasi Snouck Hurgronje [1]: Dimulai dari Mengaburkan Sejarah Masuknya Islam di Nusantara

Ujian tersebut dilakukan untuk membuktikan jamaah haji benar-benar telah mengunjungi Makkah. Jika seseorang sudah dianggap lulus ujian ini, ia berhak menyandang gelar haji yang divalidasi dengan sertifikat, serta diwajibkan mengenakan pakaian khusus haji—seperti jubah, serban putih, atau kopiah putih.

Artikel Terkait

Leave a Comment