samudrafakta.com
Catatan

Risalah Mudik

Ilustrasi Hari Raya Idul Fitri. Foto:Canva
Pada setiap sudut kota, pada setiap ruang kereta, pada setiap sudut bus, dan pada setiap jalan yang panjang, kita saksikan keriuhan para perantau. Mata mereka berbinar oleh bahagia. Senyum mereka tak terbendung lelah, dan detak jantung mereka berdebar menanti peluk hangat sanak keluarga di kampung halaman.

Demikianlah mudik. Tidak hanya mengantarkan antar titik Jakarta dengan kampung halaman, tapi juga menuntun kita pada titik bertautnya hati. Di tengah pekatnya malam, mata mereka menatap kejauhan, menyusuri jalan tol yang menjadi sahabat setia di perjalanan.

Ilustrasi Arus Mudik:Canva

Dalam gelapnya malam, mereka merenungkan tentang titik kembali, titik di mana peluk kasih sayang mengalir lepas, di mana kenangan kampung halaman menyambut penuh cinta. Mereka yang menjalani hidup di tanah rantau, yang berjuang di kota-kota metropolitan, kini memenuhi panggilan hati yang tak terdengar, namun dirasakan begitu kuat.

Kata Mudik bukan serangkaian huruf tanpa makna. Dia adalah doa, yang terukir di setiap kata. Ia sebuah impian yang bertengger di setiap mimpi. Mudik adalah titik balik. Ke mana saja mereka pergi, mudik seperti magnet, menarik mereka kembali pada asal. Kembali kepada identitas kampung, kembali kepada aroma tanah, dalam tawa dan pelukan orang tua tercinta

Baca Juga :   Mengulik Sejarah Lebaran Ketupat yang Dirayakan Muslim Jawa Seminggu setelah Idul Fitri

Dalam pada itu, mereka bukan hanya menggenggam selembar tiket kereta atau bus, tetapi juga impian, harapan, dan memangkas rindu yang telah lama terpendam. Mereka membawa bersama mereka bukan hanya barang-barang bawaan, tetapi juga cerita hidup yang penuh liku, pengorbanan yang tak terhitung, dan kemenangan yang tak terlupakan.

Artikel Terkait

Leave a Comment