samudrafakta.com
Gaya Hidup & Budaya

Hati-Hati, Jangan Asal Menasihati, Apalagi di Medsos

Ilustrasi. Kadang niat baik menasihati, terutama di media sosial, malah bisa membuat orang yang dinasihati tersinggung dan marah. FOTO: Canva
JAKARTA—Pada zaman  di mana antara yang benar dan salah tak jelas bedanya ini, kadang niat baik pun ditanggapi secara keliru. Misalnya, bermaksud memberi nasihat, tapi malah berujung keributan. Bagaimana sebaiknya kita bersikap di tengah belantara kerancuan komunikasi di masa kini, agar niat baik justru tidak berbuntut petaka?

Dr. Fahruddin Faiz, pengajar filsafat di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta punya tipsnya.

Dalam buku Menghilang, Menemukan Diri Sejati (2022) Fahruddin menyarankan agar kita benar-benar berpikir yang jernih sebelum mengungkapkan pendapat, terutama di media sosial atau medsos. Untuk itu, menurut Fahruddin, ada baiknya kita mencoba memulai berfilsafat—agar tidak grusa-grusu dalam berpendapat atau mengambil keputusan.

To live without philosophizing is in truth the same as keeping the eyes closed without attempting to open them—Hidup tanpa berfilsafat itu sebenarnya sama dengan terus-menerus menutup mata tanpa berusaha membukanya,” demikian Fahruddin mengutip pendapat Rene Descartes, filsuf beraliran skpetisisme dari Prancis, tentang pentingnya orang untuk berfilsafat, dikutip Sabtu (4/5/2024).

Baca Juga :   Hati-Hati dengan Persepsi
Buku “Menghilang, Menemukan Diri Sejati” karya Fahruddin Faiz. FOTO: Dok. Samudra Fakta

Dengan berfilsafat, atau berpikir secara filosofis, menurut Fahruddin, kita akan lebih mawas dan lebih berhati-hati dalam bertindak. Sementara itu, jika seseorang enggan untuk berpikir filosofis, menurut Fahruddin, seseorang akan buta terhadap keadaan di sekililingnya, sehingga kerap kali ceroboh dalam mengambil sikap.

“Ibaratnya (orang berpikir filosofis), jika kita punya mata dan banyak hal indah di sekeliling kita, sudah seharusnya kita membuka mata, bukannya menutupnya terus. Jika kita terus menutup mata, kita ini ibaratnya—meminjam istilah politik—tetap ingin berada dalam status quo. Kita tidak pernah ingin berubah. Mungkin kita begitu karena menganggap jika kita berpikir atau bernalar, maka kenyamanan kita akan terancam. Dengan alasan itulah kita memilih untuk tidak berpikir dan menjalani kehidupan seperti biasa. Perilaku seperti itu, menurut Descartes, ibarat orang yang terus memejamkan mata,” tulis Fahruddin Faiz.

Orang-orang yang berperilaku seperti ini, kata Fahruddin, ibarat burung unta. Burung ini, bila ketakutan karena dikejar musuh, misalnya, dia masukkan kepalanya ke dalam pasir, sementara badannya yang besar tetap kelihatan. Dengan begitu dia merasa sudah aman, padahal sebenarnya bahaya tetap mengancam.

Baca Juga :   Perlunya Menjauh Sebentar dari Keramaian

“Tetapi, dia tidak mau tahu. Yang penting dia tidak melihatnya,” jelas Fahruddin.

Untuk menghindari kemungkinan menjadi seperti burung unta, Fahruddin mengajak pembaca bukunya untuk merefleksikan hidup. “Marilah berfilsafat. Berkontemplasi. Kenapa? Karena banyak hal yang harus kita pikirkan ulang di dalam hidup kita sekarang ini. Banyak hal yang kelihatannya baik, tetapi dampaknya kadang-kadang tidak baik,” jelasnya.

Contohnya, kata Fahruddin, jika kita hendak menasihati orang lain, seseorang perlu ‘pamit’ dulu pada orang yang hendak kita nasihati. “Mau enggak dia dinasihati? Dia butuh nasihat kita apa enggak?,” kata dia.

Dengan permisi dulu, menurut Fahruddin, itu lebih efektif daripada tiba-tiba seseorang mengatakan sesuatu yang menurut dia baik pada orang lain, dengan maksud menasihatinya. Sikap seperti ini terkadang malah menimbulkan masalah.

Artikel Terkait

Leave a Comment