samudrafakta.com
Bedah Fakta

Proyek Deislamisasi Snouck Hurgronje [3]: Menghapus Aksara Jawa dan Pegon hingga Obral Gelar untuk Elite Pribumi

Kitab dengan tulisan aksara Pegon yang banyak digunakan di pesantren. Pemerintah Hindia Belanda 'melikuidasi' penggunaan huruf ini dan menggantinya dengan ejaan Latin, atas prakarsa Snouck Hurgronje. FOTO: Istimewa
Kebijakan Pemerintah Hindia Belanda yang diarsiteki Cristiaan Snouck Hurgronje menjalankan misi untuk “menaklukkan jiwa ” kaum pribumi. Upaya-upaya yang nyata-nyata dikerjakan adalah memisahkan pribumi dari bahasanya sendiri, serta mengobral berbagai gelar kehormatan kepada mereka yang mau mengikuti instruksi Belanda.

Para priyayi dibikin makin kebarat-baratan dalam berbagai bidang. Dalam sektor pendidikan, misalnya, usai Perang Jawa, para bangsawan yang sebelumnya dididik oleh para pemuka agama dipaksa tunduk pada kurikulum dan pengajaran ala Barat.

Aksara lokal, seperti aksara Jawa dan Pegon, diganti aksara Latin, seiring kebijakan penggunaan ejaan Van Ophuijsen pada 1901. Ejaan ini menggunakan huruf Latin dan sistem ejaan bahasa Belanda yang dirancang oleh Charles A. van Ophuijsen.

Ejaan van Ophujsen merupakan standardisasi sistem penulisan abjad melalui penetapan ejaan Latin untuk bahasa Melayu yang berlaku di seluruh Hindia Belanda. Dengan adanya perubahan sistem ejaan, maka ejaan Melayu, yang sebelumnya menggunakan aksara Jawa atau Pegon, berubah menjadi aksara Latin.

Ejaan van Ophuijsen menempatkan huruf Latin sebagai satu-satunya aksara yang diakui secara resmi oleh Pemerintahan Hindia Belanda, yang digunakan oleh lembaga-lembaga pemerintahan, terutama institusi pendidikan dan pelayanan administrasi masyarakat atau layanan publik.

Baca Juga :   Membongkar Praktik Neo-Kolonialisme: Penjajahan Baru yang Tak Disadari oleh Masyarakat Dunia

Namun demikian, Pemerintah Hindia Belanda masih membiarkan aksara-aksara lama untuk digunakan secara informal dan terbatas untuk urusaan domestik, seperti budaya dan adat istiadat, surat menyurat pribadi, dan pendidikan lokal.

Menurut Prof. George Quinn, guru besar bahasa dan sastra Jawa di Canberra, Australia, aksara Jawa ha-na-ca-ra-ka adalah simbol Bahasa Jawa yang bersumber dari bahasa Palawa. Pangram ha-na-ca-ra-ka sendiri sebenarnya sudah muncul pada era mulai berkembangnya Islam di Jawa, tepatnya di Mataram. Namun, seiring masuknya Belanda di lingkungan Keraton Mataram, lambat laun aksara latin mulai berpengaruh di wilayah kerajaan ini.

Lama-lama terjadi pergeseran, di mana aksara Latin semakin populer. Dalam perkembangannya hingga sekarang, penggunaan aksara Jawa jauh di bawah aksara Latin. Aksara Latin sudah menjadi bagian kehidupan masyarakat luas. Sementara aksara Jawa mati suri. Aksara Jawa tidak menjadi alat komunikasi tertulis, khususnya di luar keraton.

Berdasarkan catatan sejarah, tulisan Jawa telah digunakan selama kurun waktu 1.200 tahun, sejak pertengahan abad ke-8 hingga pertengahan abad ke-20. Bahkan, seni tulis sudah ada di Jawa sebelum tahun 750, yang dimulai sekitar tahun 500.

Baca Juga :   Dosa Besar Snouck Hurgronje: Menghancurkan Keluhuran Islam Nusantara dan Membuka “Pintu” untuk Kaum Puritan

Jika kita melacak peredaran tulisan Jawa mulai abad ke-17, ternyata tulisan Jawa tidak terbatas pada daerah yang menuturkan bahasa Jawa saja, tetapi juga dikenal di daerah penutur bahasa Sunda, Madura, dan juga Lombok.

Artikel Terkait

Leave a Comment