samudrafakta.com
Pendidikan

Tidurnya Orang Berpuasa Tak Selalu Bernilai Ibadah, Begini Penjelasannya

llustrasi tidur siang. Tidur seperti ini bisa bernllai ibadah, bisa juga tidak. (Canva)
JAKARTA—Salah satu hadits yang populer di bulan Ramadan adalah yang menyatakan bahwa tidurnya orang puasa adalah ibadah. Hadits ini kerap disalahartikan sebagai ‘kedok syar’i’ untuk bermalas-malasan saat puasa Ramadan. Lantas, bagaimana penjelasan mengenai hadits itu?

Dalam bahasa Indonesia, hadits yang dimaksud artinya seperti ini: “Tidurnya orang puasa adalah ibadah, diamnya adalah tasbih, amal ibadahnya dilipatgandakan, doanya dikabulkan, dan dosanya diampuni.” (HR. Baihaqi).

Kesahihan hadits ini pernah di-takhrij atau diteliti oleh Al-Hafidz al-Iraqi. Ulama ini pun menyimpulkan bahwa ada salah satu periwayat hadits tersebut yang terdeteksi sebagai pembohong.

“Kami meriwayatkan hadits ini dalam kitab Amali Ibnu Mundah, dari riwayat Ibnu Mughirah dari Ibnu Umar, sanadnya dhaif (lemah). Hadits ini diriwayatkan oleh Dailami dalam Musnad Firdaus, di dalamnya ada Sulaiman bin Amr An-Nakhai, salah satu pembohong,” kata al-Iraqi, dalam Takhrij Hadits Ihya.

Sedangkan Imam Al-Baihaqi mencantumkan hadits tersebut dalam kitab Syuab Al-Iman. Dicantumkan sebanyak tiga riwayat. Dia memberi penilaian bahwa hadits tersebut dhaif, bukan palsu. Al-Baihaqi mengkategorikan hadits tersebut lemah karena, berdasarkan metode penulisan yang dia jelaskan di awal kitabnya, dia tidak akan memasukkan hadits palsu.

Baca Juga :   Refleksi Buya Syakur Yasin: Puasa untuk Orang Mukmin, Bukan 'Sekadar' Islam

Pendapat Imam Al-Baihaqi tersebut dinukil oleh As-Suyuti di dalam kitabnya, Al-Jamiush-Shaghir, yang juga menyebutkan bahwa status hadits ini lemah. Namun status dhaif yang diberikan oleh As-Suyuti justru dikritik oleh para muhaddits yang lain.

Menurut kebanyakan mereka, status hadits ini bukan hanya dhaif, tetapi sudah sampai derajat hadits maudhu’(palsu). Al-Imam Al-Baihaqi juga menyebutkan bahwa teks hadits tersebut bukan merupakan teks hadits nabawi. Karena di dalam jalur periwayatan hadits itu terdapat perawi yang bernama Sulaiman bin Amr An-Nakhahi, yang kedudukannya dinilai sebagai pemalsu hadits.

“Saya mengikuti penulisan ahli hadits untuk menyampaikan apa yang saya perlukan, berupa hadits, berdasarkan riwayat sahabat dan kisah-kisah beserta sanadnya, serta meringkas hal-hal yang dipastikan dalam hati bahwa itu adalah riwayat palsu. Dalam hadits dari Rasulullah Saw.: “Barangsiapa yang menyampaikan hadits dan dia tahu bahwa itu palsu, maka dia adalah salah satu dari dua pembohong.” (Kitab Muqadimah Syuab Al-Ima).

Sementara, Syekh Albani mencantumkan keseluruhan riwayat hadits ini dalam kitabnya Silsilah Dhaifah Ada yang dinilai palsu, tetapi ada yang sekadar dinilai daif. Namun demikian, pada poin akumulasi, Syekh Albani memberi penilaian dhaif saja.

Baca Juga :   Negara-Negara Timur Tengah Diperkirakan Rayakan Idul Fitri pada 21 April 2023

Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa derajat hadits ini dhaif, di mana ada perawi pendusta dalam jalur periwayatannya.

Tidur Bisa Positif dan Bermanfaat, Asal…

Menurut Imam al-Ghazali, salah satu adab dalam menjalankan puasa adalah tidak memperbanyak tidur pada saat siang hari.

Artikel Terkait

Leave a Comment