samudrafakta.com
Pendidikan

Harta Hasil Korupsi untuk Beramal? Begini Statusnya Menurut Hukum Islam

Ilustrasi menolak uang hasil korupsi. FOTO: Canva
JAKARTA–Harvey Moeis, suami selebritis Sandra Dewi, yang ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi di PT Timah, dikenal suka membantu orang lain. Tanpa bermaksud melangkahi prerogatif Tuhan yang Maha Adil, juga terlepas dari keyakinan yang dianut pasangan Harvey-Sandra, menarik juga untuk diulik: apakah beramal menggunakan uang hasil korupsi bisa ‘memutihkan’ dosa pelakunya? 

Sandra Dewi, dalam sebuah podcast di kanal YouTube Daniel Mananta—yang diunggah pada 26 September 2020 dan viral setelah Harvey Moeis jadi tersangka—menyebut jika suaminya adalah seorang yang sangat baik, suka beramal, rajin membantu orang yang membutuhkan pekerjaan, hingga sering menyumbang sejumlah rumah sakit.

Saking banyaknya aktivitas amal Harvey, Sandra Dewi mengaku heran dan menilai jika jiwa penolong suaminya benar-benar seakan di luar batas kemampuannya bernalar. Presenter Daniel Mananta menyebut kebaikan Harvey Moeis sangat ‘gila’.

Barangkali segila nilai korupsi PT Timah, yang menurut Kejaksaan Agung (Kejagung) mencapai Rp271 triliun itu. Barangkali juga dengan uang yang didapatkan dengan cara melanggar undang-undang itulah Harvey beramal.

Baca Juga :   THR PNS Dipastikan Cair 100 Persen, Keuangan Negara Mulai Membaik?

Dari titik ini, sebuah pertanyaan kritis menarik untuk diajukan: ketika korupsi membuat orang berdosa, sementara beramal membuatnya mendapat pahala, bagaimana kalau dua unsur “minyak” dan “air” itu bertemu? Bagaimana status harta itu ketika sampai ke tangan penerimanya?

Mumpung di bulan Ramadhan, kita bahas dari sudut pandang hukum atau syariat Islam.

Dalam fikih Islam, harta haram dikelompokkan menjadi dua. Pertama, harta yang haram karena zatnya—seperti khamr (minuman keras), babi, bangkai, anjing, darah, dan seterusnya. Kedua, harta yang haram karena cara mendapatkannya, meskipun zatnya halal—seperti uang riba, suap, curian, dan korupsi masuk pada kriteria ini.

Selanjutnya, untuk harta yang digolongkan haram karena cara mendapatkannya, dibagi lagi menjadi dua. Pertama, harta haram yang diambil secara sukarela, saling ridha, atau dengan izin pemilik pertama. Contoh kriteria ini, misalnya, upah wanita pezina, hasil judi, atau jual-beli barang haram—misalnya menjual minuman keras atau kupon judi.

Kedua, harta haram yang diambil secara sepihak dan merugikan pihak lain. Tidak saling ridha. Contohnya, hasil curian, harta hasil merampas, hasil menipu, dan korupsi masuk kriteria ini.

Baca Juga :   Awal Puasa Kemungkinan Berbeda Lagi, Falakiyah PBNU Sebut 1 Ramadhan 1445 Hijriah Jatuh 12 Maret 2024

Sebagian ulama Islam sepakat bahwa harta haram yang diambil tanpa kerelaan pemiliknya—atau tidak saling ridha—statusnya tetap haram kendati berpindah ke tangan orang lain, baik itu diberikan dalam bentuk hadiah atau hibah.

Sebagian ulama yang berpendapat demikian mengacu pada hadits Nabi Muhammad Saw., dari Ibnu Umar ra.: “Shalat tidak akan diterima tanpa bersuci, dan tidak pula sedekah hasil korupsi.” (HR. Muslim)

Artikel Terkait

Leave a Comment