samudrafakta.com

Syekh Jumadil Kubra, Moyang Para Wali yang Meruwat Tanah Jawa

Menurut Isno, akademisi Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Raden Wijaya Mojokerto, dari hasil Sarasehan Peringatan Haul ke-362 Syekh Jumadil Kubro oleh Dinas Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, mengungkapkan bahwa arkeolog, sejarawan, maupun kalangan ulama menyepakati Syekh Jumadil Kubro adalah tokoh nyata—kendati punya banyak versi dalam riwayatnya. Melalui tulisan bertajuk Pendidikan Islam Masa Majapahit dan Dakwah Syekh Jumadil Kubra dalam Jurnal Pendidikan Agama Islam (2015), Isno menyimpulkan bahwa Syekh Jumadil Kubro merupakan tokoh yang meletakkan dasar dakwah Islam di Nusantara.

Hamidulloh Ibda, dalam buku Peradaban Makam: Kajian Inskripsi, Kuburan, dan Makam karya Hamidulloh Ibda (2019), menuliskan Syekh Jumadil Kubro lahir pada tahun 1270 M sebagai putra Ahmad Syah Jalaluddin, bangsawan dari Nasrabad, India. Satu versi lainnya menyatakan beliau lahir pada tahun 1349 M di kota Samarkhand, dekat kota Bukhoro, wilayah Negara Azarbaijan.

Nama lahir beliau Husain Jamaluddin Akbar. Versi lainnya menyebutkan beliau kelahiran tahun 1310 M di negeri Malabar, yakni sebuah negeri dalam wilayah Kesultanan Delhi. Ayahnya, Ahmad Syah Jalaluddin, adalah seorang Gubernur (Amir) Malabar. Menurut Muhammad Sulton Fatoni, dalam Buku Pintar Islam Nusantara, Syeik Jumadil Kubra menyebarkan Islam di Nusantara setelah wafatnya Maulana Malik Ibrahim pada tahun 882H/1419 M, dan sebelum Raden Rahmat atau Sunan Ampel yang baru tiba di Jawa beberapa dasawarsa setelahnya.Artinya munurut versi ini, kiprah dakwah Syeik Jumadil Kubra di pulau Jawa berlangsung di sekitar paruh pertama abad ke-15.Syekh Jumadil Kubro wafat pada 15 Muharram 857 H/ 1465 M beliau wafat berusia 116 tahun.

Baca Juga :   Kisah Pahit Robusta di Hadapan Arabika

Di dalam sumber-sumber historiografi, kisah tokoh yang dikenal dengan Syekh Jumadil Kubra memiliki banyak versi. Menurut Th. G. Th. Pigeaud dalam Literature of Java: Catalogue Raisonne of Javanese Manuscripts in the Library of the University of Leiden and Other Collections in The Netherlands, disebutkan bahwa pada zaman kuno terdapat empat orang suci beragama Islam: Jumadil Kubra di Mantingan, Nyampo di Suku Domas, Dada Pethak di Gunung Bromo, dan Maulana Ishak di Blambangan.

Menurut Martin van Bruinessen, dalam Kitab Kuning, Pesantren, Tarekat, dan Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia, nama Jumadil Kubra, yang mirip nama Arab, tergolong aneh karena melanggar tata bahasa Arab. Kata Arab “Kubra” adalah kata sifat dalam bentuk mu’annas (feminin), bentuk superlatif (ism tafdhil) dari kata kabîr, yang berarti “besar”. Bentuk kata mudzakkar (maskulin) yang sesuai adalah akbar. Martin menilai aneh, kata al-Kubra menjadi bagian nama seorang laki-laki. Karena itu, Martin berpendapat nama Jumadil Kubra adalah penyingkatan nama Najumuddin al-Kubra menjadi Najumadinil Kubra—yang dihilangkan bunyi suku kata pertamanya menjadi Jumadil Kubra.

Baca Juga :   Sepatu Bata, Produk Cekoslovakia yang Kerap Dikira Asli Indonesia

Dalam Kronika Banten, sebagaimana dikutip oleh Agus Sunyoto (Atlas Wali Songo, 2016), Syekh Jumadil Kubra digambarkan sebagai nenek moyang Sunan Gunung Jati. Dikisahkan bahwa seorang putra Syekh Jumadil Kubra yang bernama Ali Nurul Alam tinggal di Mesir. Ali Nurul Alam memiliki putra bernama Syarif Abdullah, yang kemudian memiliki anak bernama Syarif Hidayatullah, atau yang dikenal dengan Sunan Gunung Jati.

Sementara itu, menurut Babat Tanah Cirebon, tokoh Syekh Jumadil Kubra dianggap sebagai leluhur Sunan Gunung Jati dan wali-wali lain, seperti Sunan Bonang, Sunan Ampel, dan Sunan Kalijaga. Hal yang kurang lebih sama juga dituturkan dalam Kronika Gresik, di mana Syekh Jumadil Kubra dikatakan memiliki hubungan darah dengan Sunan Ampel dan tinggal di Gresik.

Putra Syekh Jumadil Kubra yang bernama Syekh Maulana Ishaq dikirim ke Blambangan untuk melakukan islamisasi di sana. Sebagaimana diketahui, Syekh Maulana Ishaq merupakan ayah dari Sunan Giri. Dengan kata lain, Syekh Jumadil Kubra adalah kakek Sunan Giri.

 Sejalan dengan Kronika Gresik, Raffles dalam The History of Java yang mencatat kisah-kisah legenda Gresik, menyebutkan bahwa Syekh Jumadil Kubra bukanlah seorang tokoh nenek moyang, melainkan seorang pembimbing wali yang pertama. Dikisahkan, Raden Rahmat yang kelak menjadi Sunan Ampel, pertama-tama datang dari Champa ke Palembang dan kemudian meneruskan perjalanan ke Majapahit. Mula-mula Raden Rahmat ke Gresik, dan mengunjungi seorang ahli ibadah yang tinggal di Gunung Jali, bernama Syekh Molana Jumadil Kubra. Syekh Molana Jumadil Kubra kemudian menyatakan bahwa kedatangannya telah diramalkan oleh Nabi, bahwa keruntuhan agama kafir telah dekat dan Raden Rahmat dipilih untuk mendakwahkan Agama Islam di pelabuhan timur Pulau Jawa.

Baca Juga :   Sunan Bonang (1): Rajanya Para Wali Allah di Tanah Jawa

Sedangkan Babad Tanah Jawi menuturkan bahwa Syekh Jumadil Kubra adalah sepupu Sunan Ampel yang hidup sebagai petapa di sebuah hutan dekat Gresik. Keberadaan Syekh Jumadil Kubra sebagai seorang petapa didapati pula dalam cerita tutur bersifat legenda yang tersebar di sekitar lereng Gunung Merapi di utara Yogyakarta. Dalam cerita ini, Syekh Jumadil Kubra diyakini sebagai wali tertua asal Majapahit yang hidup bertapa di hutan Lereng Merapi. Syekh Jumadil Kubra, dalam legenda itu, diyakini berusia sangat tua sehingga dipercaya menjadi penasihat rohani Sultan Agung.

Artikel Terkait

Leave a Comment