samudrafakta.com

Sunan Bonang (2): Pasang-Surut Dakwah Hingga ke Indonesia Timur

Dakwah Sunan Bonang tidak selalu berjalan mulus. Sempat terlibat konflik dengan penganut Bhairawa-Tantra ketika berdakwah di Kediri. Namun demikian, catatan sejarah menunjukkan bahwa dakwah putra Sunan Ampel itu cukup berhasil, bahkan hingga ke Maluku.

Dalam banyak catatan sejarah, Mahdum Ibrahim alias Sunan Bonang dikenal sebagai seorang wali yang “sakti”. Menurut catatan Serat Kandhaning Ringgit Purwa, pada naskah LOr 6379 No. 9, dia pernah ditantang oleh seseorang bernama Ajar Blacak Ngilo—seorang penganut Bhairawa-Tantra di Kediri—untuk sabung ayam dengan taruhan. Taruhannya adalah, yang kalah menjadi pengikut yang menang.

Mahdum Ibrahim—yang ketika berdakwah di Kediri belum mendapatkan gelar Sunan Bonang—tidak turun tangan sendiri menanggapi tantangan tersebut. Dia memerintahkan seorang muridnya yang bernama Wujil untuk meladeni tantangan tersebut. Mahdum Ibrahim membekali Wujil seekor anak ayam atau khutuk untuk menghadapi ayam jagoan Ajar Blacak Ngilo. Di awal aduan, anak ayam Wujil itu kalah. Wujil kemudian meniup anak ayam yang kalah tersebut, hingga tubuhnya menjadi besar. Akhirnya ayam itu diadu lagi dan ayam Ajar Blacak Ngilo kalah dan tewas.

Baca Juga :   Lembuswana: Tunggangan Raja Mulawarman, Penjaga Sungai Mahakam

Sedangkan Babad Daha- Kediri menggambarkan bagaimana Mahdum Ibrahim, dengan pengetahuannya yang luar biasa, mengubah aliran Sungai Brantas sehingga membuat daerah yang enggan menerima Islam di sepanjang aliran sungai tersebut menjadi kekurangan air, sementara sebagian yang lain mengalami banjir. Mahdum Ibrahim juga dikisahkan memenangkan perdebatan dengan seorang tokoh Bhairawa-Tantra bernama Buto Locaya—yang selalu mengecam tindakan dakwah Sunan Bonang. Nyai Pluncing, seorang bhairawi penerus ajaran ilmu hitam Calon Arang, juga dapat dikalahkan oleh Mahdum Ibrahim.

Berbagai “kesaktian” Mahdum Ibrahim itu adalah “karamah” dari pengetahuannya yang luas dan mendalam tentang ilmu tasawuf. Salah satu bukti betapa mumpuninya pengetahuannya terhadap ilmu sufistik Islam tersebut tampak dari Primbon Bonang—yang menurut B.J.O. Schrieke merupakan tulisan Sunan Bonang alias Mahdum Ibrahim.

Primbon Bonang memuat ajaran inti tasawuf. Menurut Schrieke, naskah tersebut merujuk kepada sejumlah kitab tasawuf. Antara lain Ihyâ` ‘Ulumiddîn dari al-Ghazali; Tamhid dari Abu Syakur as-Salimi; Talkhîs al-Minhaj dari an-Nawawi—yang mungkin telah diikhtisarkan dalam kitab ad-Daqâiq; Qût al-Qulûb dari Abu Thalib al-Makki; al-Risâlah al-Makkiyah fî Tharîq as-Sâdah ash-Shûfi yah dari Afi-fuddin at-Tamimi; Tazyînul Asywâq bi Tafshîl Asywâq al-‘Usysyaq dari Daud ibnu Umar al-Anthakil; dan Hilyatul Awliyâ` dari Ahmad ibn Ashim al-Anthaki.

Baca Juga :   Kebangkitan Nasional: Ketika Keterdidikan Menumbuhkan Kesadaran Orang Indonesia

Selain kitab-kitab rujukan, Primbon Bonang juga menyebut sejumlah tokoh sufi, seperti Abu Yazid al-Busthami, Muhyiddin Ibnu Arabi, Syekh Ibrahim al-‘Arki, Syekh Semangu Asarani, Syekh Abdul Qadir al-Jailani, Syekh ar-Rudaji, dan Syekh Sabti. Maka, berdasar uraian Primbon Bonang, bisa dikatakan bahwa Mahdum Ibrahim atau Sunan Bonang sakti bukan karena menguasai ilmu kanuragan atau kebatinan tertentu, tetapi kesaktiannya itu merupakan karamah dari kewaliannya serta mendalamnya pengetahuannya tentang ilmu tasawuf.

Masih menurut Babad Daha- Kediri, awal usaha dakwah Sunan Bonang di Kediri tidak berlangsung mulus. Babad itu mengisahkan bahwa Sunan Bonang juga menggunakan pendekatan yang cenderung keras, terutama kepada masyarakat yang kukuh menolak Islam. Dia dikisahkan merusak arca yang dipuja penduduk setempat—yang merupakan penganut Bhairawa-Tantra—serta mengubah aliran air Sungai Brantas dan mengutuk penduduk suatu desa gara-gara kesalahan satu orang warga.

Artikel Terkait

Leave a Comment