samudrafakta.com

Sunan Ampel (1): Arsitek Kerajaan Demak yang Menggagas Dakwah Berwajah Ramah

Gerakan dakwah Islam yang bersifat masif dan sistematis baru berhasil dijalankan oleh Wali Songo di masa Sunan Ampel dan Raja Pandhita. Keduanya memulai misi dakwah memanfaatkan kelonggaran yang diterapkan oleh Kerajaan Majapahit di era Brawijaya V. Melalui jaringan gerakan dakwah Islam mereka—yang pada perkembangannya bermetamorfosa menjadi suatu lembaga yang disebut Wali Songo—lahirlah kekuatan politik kekuasaan dalam bentuk kerajaan di Demak, Cirebon, Banten, disusul Banjarmasin, Pontianak, Gowa, Tallo, Ternate, Tidore, Tual, hingga Sumbawa.

Mayoritas ilmuan dan sejarawan sepakat bahwa Sunan Ampel adalah tokoh Wali Songo tertua yang memiliki peran besar dalam pengembangan dakwah Islam di Jawa dan tempat lain di Nusantara. Melalui Pesantren Ampeldenta—yang situsnya masih bisa didapati di kawasan Ampel, Surabaya—Sunan Ampel mendidik kader-kader penggerak dakwah Islam, seperti Sunan Giri, Raden Patah, Raden Kusen, Sunan Bonang, Sunan Drajat, dan Maulana Ishak yang diutus mengislamkan rakyat Blambangan.

Sunan Ampel juga memiliki peran membentuk keluarga-keluarga Muslim di masa tersebut dengan cara menikahkan juru dakwah Islam dengan putri-putri penguasa bawahan Majapahit. Sunan Ampel sendiri menikahi putri Arya Teja, Bupati Tuban, yang juga cucu Arya Lembu Sura, penguasa Surabaya yang juga seorang Muslim. Jejak dakwah Sunan Ampel tidak hanya tertinggal Surabaya dan ibu kota Majapahit, namun meluas sampai ke daerah Sukadana di Kalimantan.

Baca Juga :   Sunan Kudus (1): Putra Sunan Ngudung, Ahli di Banyak Bidang

Dalam misi dakwahnya, Sunan Ampel juga mengajarkan pandangan Angajawi dan Hamba Wong Jawi. Ajaran ini kaya dengan nilai-nilai filosofi kerakyatan dan kesetaraan. Ini adalah sebuah metode dakwah yang inklusif dan egaliter. Meski Sunan Ampel—yang bernama asli Ali Rahmatullah atau Raden Rahmat—berasal dari keluarga kerajaan, dia tidak pernah merasa besar.

Raden Rahmat memilih menjadi rakyat biasa dan bergaul dengan rakyat jelata, tanpa jarak. Sikap tawaduk, rendah hati, dan mau berbaur dengan rakyat biasa ini adalah salah satu modal sekaligus gayanya ketika berdakwah di tengah masyarakat.

Dalam naskah Babad Cerbon, dari riwayat Maulana Hasanuddin Banten (Kodeks CS 114 PNRI), diceritakan bahwa pada suatu hari Kangjeng Sunan Ampel ditanya oleh seorang ulama dari Arab, Syekh Sarafuddin: “Wong pundi tuwan? (Orang mana tuan?)” Jawab (kang sahur) Kangjeng Sunan Ampel: “Hamba wong Jawi”. Inilah pengakuan yang bertujuan untuk melebur batas-batas sosial antara Sang Sunan dengan massa yang menjadi sasaran dakwahnya.

Sunan Ampel selalu menjalankan strategi mengutamakan keamanan dan kesejahteraan masyarakat dalam mengemban misi dakwahnya. Keamanan perlu dijaga sebab, jika keadaan sudah aman, Islam akan berkembang dengan sendirinya. Sunan Ampel menunjukkan bahwa dirinya adalah guru yang bijak, yang mengajarkan bagaimana Islam dibangun dengan cara-cara kolektif, kooperatif, dan integral dengan masyarakat—bukannya memisahkan diri atau membuat onar.

Baca Juga :   Inilah Alasannya Kenapa Sidoarjo Dijuluki Kota Delta

Pendekatan yang diajarkan Sunan Ampel mengutamakan kebersamaan, titik temu, susana guyub, rukun, dan berhimpun. Dari suasana seperti itu akan muncul rasa aman. Prinsip dasarnya adalah jangan sampai membuat masyarakat justru terasing dari sifat rahmat agama Islam. Jangan sampai mengundang ketegangan antar-komunitas. Sunan Ampel menjaga betul perasaan orang-orang Jawa. Maka dari itulah dia mengaku sebagai wong Jawi.

Sejarah hidup Kangjeng Sunan Ampel dapat ditemukan dalam beberapa naskah. Pertama,  Naskah Serat Babad Gresik (Kodeks PB A. 116/MSB) Koleksi Museum Sonobudoyo, Yogyakarta. Kedua, Babad Tanah Jawi versi Drajat (British Library, EAP 061/2/54) koleksi Pesantren Paciran, Lamongan dan Babad Demak Mataram (Kodeks CS 60 PNRI salinan tahun 1867 dari Naskah Lontar Kodeks 24 L 387 PNRI) koleksi Perpustakaan Nasional RI. Ketiga, Babad Ampel Denta (Kodeks PB A 200/MSB), Koleksi Museum Sonobudoyo, Yogyakarta.

Naskah Babad Ampel Denta, terdiri dari dua bagian. Pertama, bercerita tentang kiprah Syekh Ibrahim Asmoro atau Syekh Maulana atau Syeh Asmara Ibrahim di Champa. Kedua, bercerita tentang kiprah putranya yang bernama Raden Rahmat Sunan Ampel Denta, hingga masa membuka pesantren dan masjid di Ampel Denta.

Baca Juga :   Gunung Agung Tutup Seluruh Gerai Akhir 2023, Tanda Dunia Buku Kian Lesu

Dalam naskah tersebut dikisahkan bahwa Raden Rahmat disuruh oleh Raja Champa untuk pergi ke Jawa menghadap Raja Majapahit sebagai wakilnya. Kepergian Raden Rahmat diiringi oleh dua orang pendamping dengan membawa dua surat. Surat pertama memberitahukan bahwa yang datang adalah kemenakan sang permaisuri, dan yang selembar lagi berisi ajakan Syekh Maulana Ibrahim Asmara, istri, dan Raja Champa, serta ibundanya, agar Raja Majapahit berkenan memeluk agama Islam. Apabila sang raja belum berkenan, dimohon bibinya saja yang masuk agama Islam. Surat itu juga memberitahukan bahwa Raden Rahmat sebenarnya telah paham dan menguasai dengan baik segala ilmu dan patut menjadi ulama.

Artikel Terkait

Leave a Comment