Usaha dakwah Sunan Ampel lebih merupakan hasil formulasi kreatif dari tradisi intelektual dan spiritual yang paling dinamis dan kreatif dalam sejarah perkembangan Islam.
Dalam Sedjarah Dalem disebutkan bahwa putri Arya Lembu yang bernama Retna Panjawi, menikah dengan Prabu Brawijaya dari Majapahit. Selain menikahi Retna Panjawi, Prabu Brawijaya sendiri juga menikahi bibi Raden Rahmat atau Sunan Ampel, Dewi Candrawati. Melalui simpul Prabu Brawijaya itulah hubungan antara Raden Rahmat dengan Arya Lembu Sura terjalin.
Karena relasi tersebut, ketika Prabu Brawijaya menyerahkan Raden Rahmat kepada Arya Lembu Sura, Raden Rahmat tidak saja diangkat menjadi imam di Ampel, tetapi juga dinikahkan dengan Nyai Ageng Manila, putri penguasa Tuban, Arya Teja. Dengan kata lain, Raden Rahmat menikahi cucu dari Arya Lembu Sura. Karena pernikahan dengan Nyai Ageng Manila itulah Raden Rahmat memiliki hubungan kekerabatan dengan penguasa Tuban, Arya Teja—selain tentu saja dengan penguasa Surabaya, Arya Lembu Sura.
Hubungannya dengan penguasa Surabaya juga yang akhirnya menempatkan Raden Rahmat pada kedudukan sebagai bupati—penguasa Surabaya kala itu—menggantikan Arya Lembu Sura. Menurut Sedjarah Regent Soerabaja, Raden Rahmat adalah bupati pertama Surabaya, sebagaimana tertulis pada daftar urutan bupati-bupati Surabaya sebagai berikut: punika panjenengan ing kabupaten surapringga/ kangjeng sinuhun ngAmpeldenta/ nami pangeran rahmat/ juluk seh mahdum/ seda kasarekaken ing ngampel//.
Memanfaatkan kedudukannya sebagai bupati atau penguasa wilayah, Raden Rahmat lebih lebih leluasa dalam gerakan dakwahnya. Pun demikian dengan usahanya memperkuat jaringan kekerabatan dengan penguasa-penguasa di wilayah lain, jadi lebih mudah karena kedudukannya. Sementara dalam Babad Tanah Jawi dituturkan jika Raden Rahmat menikahkan Khalifah Usen (nama tempat di Rusia selatan dekat Samarkand—red.) dengan putri Arya Baribin, Adipati Madura. Itu dilakukan untuk memperkuat jaringan kekerabatan dengan para penguasa demi mempermudah misi dakwah.
Siapakah Khalifah Usen? Menurut Serat Kandha, Khalifah Usen adalah kerabat Raden Rahmat. Khalifah Usen memiliki saudara bernama Syekh Waliyul Islam—yang menurut Serat Kandhamenikah dengan Retno Sambodi, putri penguasa Pasuruan bernama Lembu Mirudha, atau yang masyhur disebut Panembahan Gunung Bromo.
Sementar aitu, kerabat Raden Rahmat lainnya, Syekh Maulana Gharib, dinikahkan dengan Niken Sundari, putri Patih Majapahit bernama Mahodara. Usaha dakwah melalui penguatan jaringan kekerabatan lewat pernikahan dilanjutkan oleh Raden Rahmat sewaktu putra-putrinya menginjak dewasa. Mas Mustosiyah, putri hasil pernikahannya dengan Nyai Karimah—putri Ki Bang Kuning—dinikahkan dengan santrinya, Raden Paku atau Sunan Giri. Sementara adik Mas Murtosiyah, yang bernama Mas Murtosimah, juga dinikahkan dengan santrinya yang lain, yaitu Raden Patah yang menjadi Adipati Demak. Santrinya yang lain, Raden Kusen, yang tak lain adalah adik Raden Patah, dinikahkan dengan cucu perempuannya yang bernama Nyai Wilis.
Ada juga fakta menarik terkait pandangan Sunan Ampel terhadap perempuan. Ahmad Baso, dalm artikel Wali Songo dan Perempuan Nusantara Mengakarkan Diri, dalam Islam Indonesia untuk Dunia: Kerja Sama Internasional Membumikan Islam Rahmatan lil ‘Alamin, menyatakan, Sunan Ampel mentolerir pernikahan beda agama antara bibinya yang Muslim dengan raja Majapahit yang bukan Muslim. Sikap tersebut, menurut Baso, tidak terlepas dari desain besar atau master plan yang dibangun Wali Songo terkait sistem baru yang akan ditata pasca-Majapahit yang berbasis toleransi dan keadilan.
Beberapa naskah Jawa menyebut bahwa Raja Brawijaya tidak menghalangi Istrinya yang Muslim untuk mendalami Islam (Babad Demak NB 1127; 178; Serat Babad Tembayad:133). Keadilan Brawijaya atas Putri Champa ini memberi pelajaran bagi para Wali untuk melanjutkan penghormatan yang begitu besar bagi perempuann Nusantara—antara lain dengan menempatkan relasi laki-laki dan perempuan yang sejajar dalam distribusi peran masing-masing.
Ada peran publik terbuka untuk perempuan, namun ada pula peran publik tertutup. Pada peran pertama, perempuan menggerakkan segenap potensi sosial-ekonomi dalam ruang publik bersama laki-laki maupun secara mandiri untuk memobilisasi sumber daya dan mencapai kemaslahatan kehidupan Bersama. Sementara pada peran kedua, perempuan menggerakkan kegiatan-kegiatan di luar inisiatif laki-laki, yang dilakukan secara mandiri, tertutup dari publik, namun efektif untuk kepentingan kaderisasi, pembinaan agama, dan pengaturan kehidupan masyarakat menuju kemaslahatan.





