samudrafakta.com

Syekh Syamsuddin Al-Wasil, Guru Spiritual Prabu Jayabhaya

Kedua, menurut Claude Guillot dan Ludvik Kalus dalam L’enigmatique Inscription Musulmane du Maqam de Kediri, perusakan itu disengaja. Pelakunya diduga orang beragama Islam. Sebab, para perusak tidak merusak nama Nabi dalam teks al-hijrah al-nabawiyah pada epitaf tersebut. Bagian yang rusak seperti pernah dimartil secara sengaja. Artinya, tulisan itu diduga sengaja dihapus.

Menurut laporan perjalanan Thomas Staford Raffles di Nusantara, yang dibukukan dalam History of Java pada tahun 1817, perusakan Setana Gedong paling parah terjadi pada 1815. Raffles menyebut situs makam itu sebagai candi yang memiliki bagian yang luas terbuat dari batu bata. Pada dinding bangunan terdapat fragmen-fragmen relief. Arcanya pada rusak, dipahat pada potongan batu membujur.

Masih menurut catatan Raffles, perusakan situs Setana Gedong juga pernah terjadi pada masa invasi Kerajaan Demak, namun kerusakannya tidak begitu parah. Pasukan Demak hanya menimbun artefak-artefak masa Hindu-Buddha yang ada pada candi tersebut ke dalam tanah. Sedangkan perusakan pada tahun 1815 jauh lebih parah. Raffles menyebut adanya mobilisasi dana dan tenaga yang besar untuk menghancurkan situs tersebut.

Pada tahun 2013, situs Setana Gedong juga dirusak dengan alasan perluasan kompleks masjid. Menanggapi perusakan tersebut, KH. Said Aqil Siroj, di sela kunjungannya ke Kediri untuk menghadiri wisuda sarjana di Pondok Pesantren Lirboyo, 9 November 2013, mengatakan, “Jangan asal bongkar. Itu situs bersejarah yang merupakan peninggalan atau tonggak sejarah Islam di Kediri. Tugas kita semua menjaga keorisinilan peninggalan itu, bukan malah merusaknya. Bagaimana membangun tanpa merusak cagar budaya, itulah yang harus dipikirkan.”

Baca Juga :   Khvicha Kvaratskhelia Bintang Georgia yang Mengalahkan Ronaldo dkk 2-0

Menurut alumni Ponpes Lirboyo ini, situs Setana Gedong adalah kekayaan luar biasa yang bisa menjadi pelajaran bagi generasi sekarang dan mendatang—terutama pelajaran bahwa untuk mencapai sebuah kemuliaan itu penuh liku-liku perjalanan.

Sementara itu, menurut Claude Guillot dan Ludvik Kalus, dalam epitaf Setana Gedong ditemukan sejumlah kata yang unik, yang ditulis dalam epigrafi Arab. Misalnya, kata sifat al-wasil, yang digunakan untuk menyifatkan sebuah kata benda, seperti bentuk partisipial al-mustakmil.

Kata al-wasîl dan al-mustakmil tidak ditemukan dalam Thesaurus d’epigraphie Islamique. Namun, kata al-wasîl ini dihubungkan oleh masyarakat sebagai istilah yang berhubungan dengan tokoh suci yang dikebumikan di makam Setana Gedong. Sebaliknya, menurut Claude Guillot dan Ludvik Kalus, yang penting dalam epitaf itu adalah penggunaan kata benda dalam bentuk kasus langsung sebanyak tiga kali, untuk menyatakan satu keadaan yang berhubungan dengan almarhum, yaitu: (1) asy-Syâfi ’î madzhaban, (2) al-Abarkuhî, dan (3) al-Bahraynî.

Claude Guillot dan Ludvik Kalus menafsirkan ketiga kata dalam epitaf tersebut berhubungan dengan tokoh yang dimakamkan di Setana Gedong. Pertama, kata asy-Syafi ’i madhhaban menegaskan bahwa tokoh yang terkubur di Setana Gedong bermazhab Syafi ’i. Ini adalah hal yang tidak mengherankan di dunia Melayu, tempat di mana Mazhab Syafi ’i menjadi mazhab fikih paling dominan.

Baca Juga :   Sunan Kudus (2): Dakwah Kompromis melalui “Diplomasi Sapi” dan Perpaduan Arsitektur Hindu-Buddha-Islam

Kedua, kata al-Abarkuhi bisa jadi berhubungan dengan kota Abarquh atau Abarkuh, kota kecil di Iran, yang terletak antara Shiraz dan Yazd. Ketiga, kata al-Bahrayni mungkin berkaitan dengan Kepulauan Bahrain, atau juga dapat dihubungkan dengan suku Arab albahraniyun—yang pada masa lampau berkelana di wilayah Irak.

Di tengah berbagai kesulitan mengungkap siapa jati diri almarhum yang dikebumikan di Setana Gedong karena rusaknya epitaf, Claude Guillot dan Ludvik Kalus menyimpulkan bahwa tokoh yang dijuluki masyarakat dengan nama Syamsuddin al-Wasil itu adalah seorang alim yang menjadi mubaligh di Kediri. Mereka juga berargumen bahwa kata “maqam” yang terdapat dalam epitaf Setana Gedong bukanlah merujuk kepada kuburan, melainkan berhubungan dengan “monumen peringatan” yang dibuat belakangan.

Ketiga, Prof. Dr. Habib Mustopo, guru besar Universitas Negeri Malang (Unima), yang melakukan penelitian dengan basis data historis dan arkeologis, menyimpulkan bahwa tokoh yang dikebumikan di makam Setana Gedong adalah ulama besar yang hidup pada abad ke-12, atau pada masa Kerajaan Kediri. Dia adalah Syekh Syamsuddin al-Wasil. Dasar kesimpulan itu adalah fakta adanya nama al-Wasil pada epitaf Setana Gedong sebagaimana temuan Claude Guillot dan Ludvik Kalus, dan adanya nama Syamsuddin yang dicatat dalam historiografi Jawa, yang tersimpan di Museum Nasional Jakarta. Historiografi itu adalah Kitab Serat Babad Kadhiri dan Kitab Musyarar.

Di dalam historiografi tersebut, Syekh Syamsuddin disebutkan sebagai ulama besar dari Negeri Ngerum atau Rum ( Persia), yang datang ke Kediri untuk berdakwah atas permintaan Raja Kediri, Sri Maharaja Mapanji Jayabhaya. Syekh Syamsuddin diundang untuk membahas Kitab Musyarar. Kitab ini membahas ilmu pengetahuan khusus, seperti perbintangan (ilmu falak) dan nujum (ramal-meramal).

Baca Juga :   Kapitayan, Agama Monoteisme Asli Nusantara yang ‘Difitnah’ sebagai Animisme-Dinamisme

Dalam Serat Babad Kadhiri, halaman 11, tertulis: “…Mereka mengabdi kepada Syekh Maulana Ngali Samsu Jen, raja pandhita di tanah Ngerum..” Sementara dalam kitab Musyarar tertulis: “…Lajeng angguru sayekti Sang Prabu Jayabhaya Mring Sang raja pandhitane Rasane Kitab Musyarar”. (…Sang Prabu segera menjadi murid sang Raja Pandita. Segala isi Kitab Musyarar sudah diketahui semua),” dan, “…Raja Pandhita apamit Musna saking palenggahan (…Raja Pandita pamit dan musnah dari tempat duduk…”

Artikel Terkait

Leave a Comment