Dari angka tahun yang tertulis pada nisannya, ada satu yang terbaca: 874 H atau dalam tahun Saka 1391 (1469 M). Artinya, Muslim atau mungkin kerabat raja Majapahit yang Muslim sudah ada sejak Hayam Wuruk berkuasa. Menurut Chawari, dasar dan maksud mengidentikan Kubur Tunggal di Troloyo dengan Syekh Jumadil Kubra belum bisa dipastikan. Yang jelas, nama yang kini dikenal tak ada hubungannya dengan makam. Itu bukanlah nama sesungguhnya. Nama itu semata-mata hanya untuk mempermudah indentifikasi. Lagi pula, bukan cuma Syekh Jumadil Kubra yang diidentikan dengan makam-makam Islam kuno di Trowulan. Syekh Maulana Ibrahim, Syekh Abdul Qodir Jaelani, Syekh Maulana Sekah, dan Syekh Ngundung pun dipercaya menjadi penghuni makam era Majapahit itu.
Merujuk penelitian S.T. Damais—seorang arkeolog Belanda—bahwa yang sangat menarik adalah posisi makam Muslim yang ditempatkan dalam makam kerajaan Majapahit. Padahal Tralaya, menurut bahasa Kawi , berasal dari kata “Ksetralaya” (lapangan mayat), merupakan makam khusus untuk penguburan kerabat raja, atau orang-orang dalam istana.
Menurut Agus Sunyoto, makam Tralaya merupakan makam khusus penganut aliran Yoga-Tantra. Aliran Yoga-Tantra merupakan sekte dari Hindu yang banyak diikuti oleh kerabat Istana. Baik Damais dan Sunyoto sepakat menyatakan bahwa ketujuh makam muslim tersebut adalah kerabat raja, atau orang yang sudah mendapatkan kehormatan dari raja.
Syekh Jumadil Kubro datang ke Nusantara dengan membawa keluarga dan sanak kerabatnya kira-kira pada abad 13-14 M. Dari Benggala, beliau lalu ke Pasai, dan kemudian ke Jawa, ke ibukota Majapahit. Ketika di Majapahit, Syekh Jumadil Kubro dikabarkan diberikan tanah oleh penguasa Majapahit di sekitar Trowulan, ibukota Majapahit (kini Mojokerto).
Kembali kepada pendapat Ahmad Baso. Periode tibanya Syekh Jumadil Kubro di Nusantara, menurut Baso, merupakan masa-masa setelah era pemerintahan Hayam Wuruk, raja terbesar Majapahit yang dengan dukungan penuh dari Mahapatih Gajah Mada membawa kerajaan Hindu-Buddha tersebut ke puncak kejayaan. Menurut Husnu Mufid, setelah dari Champa dan tinggal beberapa saat di Jeumpa Aceh, Syekh Jumadil Kubro menuju tanah Jawa melalui Semarang dan singgah terlebih dahulu di Demak sebelum melanjutkan perjalanannya ke kerajaan Majapahit.
Menurut catatan Ahmad Baso, dari Majapahit, ia lalu ke Tosora, kemudian ke Wajo Sulawesi Selatan dan wafat di sana pada paruh pertama abad 14. Oleh masyarakat setempat Syekh Jumadil Kubro dikenal sebagai Imam Towajo atau pemimpin agama rakyat Wajo (lihat Ahmad Baso, 2019: 137). Masih menurut catatan Ahmad Baso, Syekh Jumadil Kubro memiliki tiga putra, yaitu Syekh Ibrahim as-Samarqandi (dikenal sebagai Ibrahim Asmoro); Ali Nurul Alam; dan Zainal Alim.
Syekh Ibrahim as-Samarkandi menikahi seorang puteri Kamboja lalu memiliki putra bernama Syekh Maulana Ishaq (ayah Muhammad Ainul Yakin/Sunan Giri) dan Syekh Rahmatullah (Sunan Ampel). Ali Nurul Alam memiliki putra bernama Syarif Abdullah. Syarif Abdullah ini kemudian berputra Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Sedangkan Zainal Alim kelak memiliki anak bernama Maulana Malik Ibrahim.
Para keturunan Syekh Jumadil Kubro dan Wali Songo menyebar ke berbagai daerah di Pulau Jawa untuk mendakwahkan Islam. Mereka selalu memerankan diri seperti pribumi di mana pun mereka berada. Misalnya, yang tinggal di Tanah Jawa berasimilasi dengan penduduk lokal, sehingga kemudian tidak bisa dibedakan lagi dengan suku “Jawa asli”. Maka, tidak heran jika pendekatan para Wali Songo ketika berdakwah menggunakan pendekatan berkarakteristik sangat damai, adaptif dengan kebudayaan setempat, dan kental tradisi tasawuf. [bersambung—]
(Wijdan | Diolah dari Berbagai Sumber)