samudrafakta.com

Syekh Hasanuddin “Quro” Karawang, Peletak Dakwah Islam di Jawa Barat

Namanya mungkin tak seterkenal Wali Songo. Namun demikian, ketidakterkenalan tak menafikan fakta bahwa Syekh Hasanuddin “Quro” Karawang adalah salah satu wali besar zaman pra-Wali Songo yang berperan penting dalam meletakkan dakwah Islam di tanah Pasundan.

Menurut informasi situs resmi Dinas Pariwisata Provinsi Jawa Barat, Syekh Hasanuddin Karawang pertama kali menginjakkan kaki di Bumi Pasundan pada tahun 1416. Dia menumpang armada Laksamana Cheng Ho yang diutus Kaisar China Cheng Tu atau Yung Lo—raja ketiga Dinasti Ming—untuk menjalin persahabatan dengan raja-raja tetangga China di seberang lautan, termasuk di Nusantara.

Nama aslinya adalah Syekh Hasanuddin atau Syekh Qurotul Ain—kadang juga disebut Syekh Mursahadatillah. Bagi masyarakat Sunda, Syekh Quro dikenal sebagai penyebar Islam di Kabupaten Karawang. Makam Syekh Quro terletak di Pulo Bata, Desa Pulokalapa, Kecamatan Lemahabang, Karawang, Jawa Barat.

Penyebaran Islam di Karawang bermula ketika Syekh Quro mendirikan Pondok Pesantren bernama Pondok Quro, yang berarti “tempat untuk belajar Al-Quran” pada tahun 1418 M. Syekh Quro adalah penganut Mahzhab Hanafi. Dia datang ke Karawang bersama para santrinya, yakni Syekh Abdul Rohman, Syekh Maulana Madzkur, dan Nyai Subang Larang.

Baca Juga :   Serangan Umum 1 Maret 1949: Kontroversi yang Belum Juga Terklarifikasi

Menurut Ahmad Baso, dalam Pesantren Studies 2, penyebaran Islam di tanah Sunda berlangsung melalui dua jalur. Pertama melalui jalur selatan. Jalur ini memanfaatkan jaringan pesantren. Jejak jalur ini bisa dilihat dari petilasan dan kebiasaan masyarakat di daerah Jawa Barat Selatan yang sering berziarah dari Banten ke Pamijahan, atau dari Pamijahan ke Banten. Kedua, jalur utara, biasanya melalui kekuasaan—seperti yang terjadi dari Cirebon ke Banten.

Dalam naskah Babad Cerbon Br 75/PNRI, diceritakan jika putri Syekh Idhofi—seorang keturunan Rasulullah Saw. yang berbasis di Sailan atau Srilangka—menikah dengan putra Syekh Quro Karawang. Menantu Syekh Quro ini kemudian mendirikan pesantren putri pertama bernama Kapondhokan Pawestri.

Yang tercatat sebagai santri putri pertamanya adalah putri dari Mufti Kesultanan Malaka, Syekh Datu’ Saleh, yang juga merupakan keturunan Alawi, di awal abad 15. Satu versi Babad Cerbon juga menyebut bahwa ibunda Sunan Gunung Jati pernah nyantri di pondok putri ini.

Di dalam naskah Nagarakretabhumi sarga III dan IV disebutkan bahwa Syekh Hasanuddin adalah putra Syekh Yusuf Siddik dari Champa, yang datang ke Jawa bersama armada China yang dipimpin Panglima Besar Wai-ping dan Laksamana Te Ho (Cheng Ho). Syekh Hasanuddin turun dan tinggal di Karawang. Setelah menurunkan Syekh Hasanuddin, armada China dikisahkan melanjutkan berlayar ke Bandar Muara Jati di Cirebon. Di sana mereka menjalin persahabatan dengan Syahbandar Ki Gedeng Tapa dan membangun menara atau mercusuar di Pantai Muara Jati.

Baca Juga :   Inilah Sejarah Gerak Jalan Perjuangan Mojokerto-Surabaya

Syekh Hasanuddin kemudian dikisahkan menikah dengan gadis bangsawan Karawang bernama Nay Retna Parwati. Setelah menikah, dia mendirikan pesantren di Tanjung Pura pada tahun 1418 Masehi—setahun setelah kunjungan armada China di bawah Laksamana Cheng Ho yang ke-5 pada 1417 Masehi.

Saat ini, bekas pesantren Syekh Quro bisa didapati di Desa Talagasari, Kecamatan Talagasari, Karawang, Jawa Barat. Bila benar bahwa persantren itu didirikan pada tahun 1418 M, maka bisa dikatakan bahwa pesantren tersebut merupakan pesantren tertua di Pulau Jawa.

Artikel Terkait

Leave a Comment