samudrafakta.com

Sunan Gunung Jati (1): Berdakwah Menggunakan Strategi Politis-Struktural

Menurut naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, Syarif Hidayat tiba di Cirebon pada tahun 1475 M. Dia datang bersama para pedagang Arab yang singgah di Pelabuhan Muara Jati. Dia kemudian melanjutkan perjalanan ke Desa Pasambangan, menggunakan nama Sayyid Kamil. Di tempat itu Syarif Hidayat mulai mengajarkan agama Islam. Dia diterima dengan cepat oleh masyarakat, walau pada saat itu masih dianggap orang asing.

Setelah beberapa tahun tinggal di sana, Syarif Hidayatullah berhasil mengislamkan penduduk yang sebelumnya mayoritas beragama Hindu. Atas bantuan Kuwu Caruban, Haji Abdullah Iman alias Pangeran Cakrabuana, Syarif Hidayat membuka pondok dan mengajarkan agama Islam kepada penduduk sekitar. Di situ dia dikenal sebagai Maulana Jati atau Syekh Jati. Tak lama setelah mengajar di situ, datanglah Ki Dipati Keling beserta sembilan puluh delapan orang pengiringnya menjadi pengikut Syarif Hidayat.

Posisi Syarif Hidayatullah dalam menyebarkan Islam semakin kuat setelah menikahi gadis-gadis lokal. Ensiklopedi Sunda: Alam, Manusia, dan Budaya, Ajip Rosidi menulis bahwa Syarif Hidayatullah menikah enam kali. Pernikahan pertama dengan Nyai Pakungwati, putri Pangeran Cakrabuana. Namun, pernikahan mereka tidak dikaruniai keturunan. Kedua, dengan Nyai Babadan, putri Ki Gedeng Babadan. Akan tetapi, sebelum sempat dikaruniai putra, Nyai Babadan meninggal dunia.

Baca Juga :   Raden Patah (1): Wali-Raja Keturunan Majapahit yang Punya Banyak Nama

Ketiga, menikah dengan Nyai Kawung Anten, adik Bupati Banten. Dari pernikahan ini lahir dua orang anak, yaitu Ratu Winaon yang menikah dengan Pangeran Atas Angin atau Pangeran Raja Laut; dan Pangeran Sabakingkin, yang kelak menjadi Sultan Banten bergelar Sultan Hasanuddin.

Keempat, Syarif Hidayat menikah dengan Nyai Syarifah Baghdadi, adik Maulana Abdurrahman, yang dikenal sebagai Pangeran Panjunan. Dari pernikahan itu lahir dua putra, yaitu Pangeran Jayakelana yang menikah dengan Nyai Ratu Pembayun, putri Raden Patah Sultan Demak; dan Pangeran Bratakelana Gung-Anom yang menikah dengan Nyai Ratu Nyawa, putri Raden Patah juga.

Pernikahan kelima berlangsung dengan perempuan China bernama Ong Tien. Menurut legenda, dia adalah putri Kaisar China dari Dinasti Ming bernama Hong Gie. Karena putri kaisar, maka Ong Tien digelari Nyi Mas Rara Sumanding, atau ada yang menyebut Putri Petis—karena menurut cerita dia suka petis. Dari pernikahan dengan Ong Tien ini Syarif Hidayat dikaruniai seorang putra, tetapi meninggal sewaktu bayi. Tak lama setelah kematian bayinya, putri Ong Tien meninggal dunia.

Baca Juga :   Sunan Giri (2): Membangun Peradaban Islam-Jawa Berbasis Pegon dan Reformasi Seni Pertunjukan

Keenam, Syarif Hidayat menikahi Nyai Tepasari, putri Adipati Tepasana bernama Ki Gedeng Tepasan—seorang pejabat Majapahit yang berkuasa di Tepasana, Lumajang. Dari pernikahan ini lahir dua anak, yaitu Nyai Ratu Ayu yang menikah dengan Pangeran Sabrang Lor, putra Raden Patah; dan Pangeran Muhammad Arifin, yang bergelar Pangeran Pasarean.

Menurut catatan Agus Sunyoto dalam buku Atlas Wali Songo, Syarif Hidayat juga menikah dengan Nyi Mas Rarakerta, putri Ki Gedeng Jatimerta. Dari pernikahan ini lahir seorang putra bernama Bung Cikal. Menurut Carita Purwaka Caruban Nagari, Bung Cikal adalah nama kecil seorang tokoh yang berjuluk Manggana Jati.

Menurut versi lisan lainnya, Bung Cikal adalah anak Pangeran Cirebon Girang, yang diasuh oleh Pangeran Cakrabuana, penguasa Cirebon. Ketika Pangeran Cakrabuana sudah masuk Islam dan mulai mendakwahkan agama ini, dia selalu membawa-bawa Bung Cikal. Dan ketika dia membangun padepokan di Trusmi, Bung Cikal dibawa di daerah tersebut, kemudian dijadikan penguasa di Trusmi.

Mulanya, Cirebon adalah wilayah bawahan Kerajaan Pakuan Pajajaran yang wajib membayar upeti tahunan berupa terasi dan garam. Namun, ketika Syarif Hidayat menjadi penguasa Cirebon, dia menolak membayar upeti kepada penguasa Pakuan Pajajaran. Pada tanggal 12 Shafar 887 H, atau 2 April 1482 M, Syarif Hidayat membuat maklumat yang ditujukan kepada Raja Pakuan Pajajaran Prabu Siliwangi, yang menyatakan bahwa mulai saat itu Cirebon tidak akan lagi mengirimkan upeti.

Baca Juga :   Gus Dur dan 4 Versi Tanggal Lahir

Maklumat tersebut diikuti oleh para pembesar di wilayah sekitar Cirebon lainnya. Sejak berhenti memberikan upeti itulah Cirebon menjadi Kerajaan Islam yang merdeka dan otonom. Penetapan berdirinya kesultanan itu tercatat pada tanggal 12 Sukla Cetramasa 1404 Saka atau 1482 M. Syarif Hidayat mendapat gelar Tumenggung Syarif Hidayatullah bin Maulana Sultan Muhammad Syarif Abdullah.

Artikel Terkait

Leave a Comment