Korupsi Kuota Haji 2024: Ketika Ibadah Dijadikan Komoditas dan Hukum Masih Ragu

KPK membongkar jual beli kuota haji 2024 yang melibatkan oknum Kemenag dan ratusan biro travel. Tapi siapa yang seharusnya diseret ke meja hijau: pejabat pembuat kebijakan atau pelaksana di lapangan?

Editorial

Kuota haji mestinya urusan ibadah, bukan lahan bisnis. Tapi di Indonesia, ibadah bisa bocor lewat meja birokrasi.

KPK menyebut, praktik dugaan korupsi kuota haji 2024 melibatkan oknum di Kementerian Agama dan ratusan biro travel. Bukan satu-dua orang. Ada 13 asosiasi haji, 400 biro, dan sistem yang diduga sudah lama rusak.

Uang berpindah. Nama Tuhan dipakai untuk menutupi keserakahan.

Kemenag Pegang Kunci

Undang-Undang Nomor 8/2019 jelas: 92 persen kuota untuk haji reguler, 8 persen untuk haji khusus. Jika ada tambahan, keputusan ada di tangan Menteri Agama.

Bacaan Lainnya

Artinya, semua dimulai dan berakhir di Kemenag.

Ketika muncul kuota tambahan 20.000 jamaah pada 2024, hanya Menteri Agama yang berwenang menentukan siapa mendapat jatah. PIHK, biro travel, hanyalah pelaksana. Mereka menerima kuota melalui surat keputusan resmi.

Ulul Albab dari Amphuri, salah satu asosiasi travel, menegaskan: PIHK bukan pengambil kebijakan. Mereka hanya menjalankan perintah negara. Kalau kuota diberikan secara resmi, mereka tak punya dasar hukum untuk menolak.

Biro Travel Bukan Malaikat

Namun bukan berarti PIHK bebas dari dosa. Jika ada yang ikut “membeli” kuota lewat jalur belakang, memberi fee ke pejabat, atau pura-pura tak tahu ada permainan, maka mereka sama kotornya.

Hukum tak boleh buta terhadap modus semacam ini.

Kalau biro travel tahu ada pelanggaran tapi tetap ikut bermain, mereka harus diseret bersama pejabatnya.

Uang Bukan dari APBN, Tapi Ibadah Jadi Rusak

Dana jamaah bukan uang negara. Tapi ketika sistem kuota dimanipulasi, kepercayaan publik pada negara haji juga hancur. Itu yang disebut kerugian immateriil: rusaknya moral penyelenggara ibadah.

KPK memakai Pasal 2 dan 3 UU Tipikor, tentang kerugian negara. Artinya, KPK ingin menelusuri lebih dalam: siapa yang punya niat jahat dan bagaimana sistem dibuat untuk bisa diselewengkan.

Hukum Jangan Pilih Kasih

Boyamin Saiman dari MAKI sudah bicara lantang: KPK harus menjerat dua-duanya—biro travel dan pejabat Kemenag. Sebab, yang satu memberi, yang lain menerima.

Permainan tak akan hidup tanpa dua tangan yang saling menggenggam.

Negara mesti tegas: siapa pun yang memperjualbelikan kuota ibadah, harus dihukum. Sebab ini bukan sekadar korupsi uang. Ini korupsi atas keimanan.

Agar Tak Terulang

Kasus ini membuka satu hal penting: sistem penyelenggaraan haji harus transparan. Kuota tambahan harus diumumkan ke publik. Mekanisme distribusi tak boleh diserahkan pada lobi.

Karena selama kuota masih bisa “dijual”, ibadah akan terus diperdagangkan, dan hukum hanya jadi doa yang tak pernah dikabulkan.***

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *