Dulu, nyeri hanya dianggap gejala. Berkat dedikasi Prof. Nancy Rehatta, kini rasa sakit itu diakui sebagai ilmu yang berdiri sendiri di dunia medis Indonesia.
Nama Prof. Dr. Nancy Margarita Rehatta, dr., Sp.An-TI, Subsp.N.An.(K), Subsp.M.N.(K), mungkin panjang, tapi kiprahnya bahkan lebih panjang lagi.
Lulusan tahun 1981 ini kini menjabat sebagai Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Kristen (UK) Petra, dan dikenal sebagai pelopor Ilmu Nyeri di Indonesia.
Perjalanan panjangnya di dunia medis membuahkan pengakuan besar. Dalam ajang ISAPM Awards 2025 yang diselenggarakan oleh Indonesian Society of Anaesthesiology & Pain Management, Prof. Nancy—akrab disapa Prof. Rita—meraih Lifetime Achievement dan penghargaan Kategori Khusus atas Dedikasi pada Ilmu Nyeri.
Penghargaan itu diberikan bukan hanya karena pengabdiannya, tapi karena ia berhasil memperkenalkan nyeri sebagai disiplin ilmu tersendiri.
Mengubah Cara Dunia Medis Melihat “Sakit”
Segalanya berawal dari disertasinya pada tahun 1999 berjudul Pengaruh Pendekatan Psikologis Prabedah terhadap Toleransi Nyeri dan Respon Ketahanan Imunologik Pasca Bedah. Penelitian ini menjadi yang pertama di Indonesia yang meneliti hubungan antara aspek psikologis dan fisiologis dalam persepsi nyeri.
“Ilmu nyeri fokus pada keterlibatan berbagai fungsi tubuh, termasuk otak dan sistem emosi, dalam timbulnya rasa nyeri,” jelas Rita.
Dari penelitian itu, lahirlah pengakuan besar: Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) memberikan Surat Tanda Registrasi (STR) dan izin praktik mandiri untuk nyeri — tonggak baru dalam dunia kedokteran nasional.
Visi Masa Depan: Klinik Nyeri dan Edukasi Publik
Menurut Rita, tantangan ke depan bukan lagi hanya riset, tapi mindset. Banyak orang, bahkan kalangan medis, masih melihat nyeri sekadar gejala, bukan masalah yang perlu ditangani secara khusus.
“Tantangan terbesar dalam bidang ilmu nyeri di masa depan adalah meyakinkan masyarakat dan profesional bahwa nyeri bukanlah sekadar gejala,” ujarnya. “Kalau sampai mengganggu, seperti menyebabkan sulit tidur, maka perlu ditangani oleh dokter ahli nyeri.”
Ia pun mendorong agar ilmu nyeri dimasukkan ke dalam kurikulum kedokteran dan disosialisasikan lewat workshop di berbagai daerah.
Sebagai langkah nyata, Rita berencana mendirikan Klinik Nyeri di UK Petra, yang akan memadukan teknologi diagnostik modern dengan pendekatan multidisipliner, termasuk psikologi klinis.
“Klinik ini nantinya diharapkan menjadi pusat unggulan yang melibatkan berbagai ahli bersertifikat, untuk menangani nyeri dari sisi medis maupun emosional,” tutupnya.
Dengan ketekunan dan visi panjang, Prof. Nancy Rehatta telah mengubah cara dunia medis Indonesia memahami rasa sakit — dari sekadar keluhan menjadi pengetahuan yang menyembuhkan.***





