samudrafakta.com

Wali Songo adalah Fakta Sejarah

Beberapa tahun belakangan muncul narasi yang menyebut bahwa Wali Songo itu fiktif. Wacana tersebut umumnya dibawakan oleh para penceramah yang mengusung faham Islam transnasional atau Wahabi—yang makin banyak terserak negara ini. Wacana seperti ini cukup berbahaya, karena bisa menumbuhkan keraguan historis terkait eksistensi para ulama penyebar Islam di Nusantara tersebut, sekaligus berpotensi mendegradasi pemahaman Islam toleran yang di Indonesia.

Upaya mendegradasi eksistensi Wali Songo sebagai fakta sejarah di Indonesia sudah dimulai sejak zaman Pemerintah Hindia Belanda. Gagasan para wali “digempur” karena tak sejalan dengan rasionalisasi Eropa yang dibawa Belanda ke Nusantara. Maka dari itulah, secara terstruktur dan taktis—ditambah lagi dengan doktrinasi terus menerus tentang konsep pendidikan modern, empiris, dan “masuk akal” yang mereka bawa ke Nusantara—Belanda membangun wacana tentang “hal-hal yang tidak masuk akal” terkait Wali Songo.

Pelan namun ajeg, terma Wali Songo mulai dipahami sebagai mitologi. Para wali diidentikkan dengan soal-soal karamah, keajaiban, dan realita supranatural yang seringkali tidak terjangkau oleh nalar pengikut rasionalisme Barat.

Pasca Perang Diponegoro (1825-1830), Belanda yang fobia dengan hal-hal berbau Islam dan tarekat memunculkan wacana seolah-olah Islam adalah kekuatan yang tak jelas asal-usulnya dengan menciptakan berbagai mitos. Babad—atau karya sastra asli Jawa yang strukturnya mirip novel pada saat ini—dijadikan alat untuk “memitoskan” Wali Songo. Belanda menyusun cerita mereka sendiri tentang para wali, di mana ceritanya dibuat benar-benar tidak masuk akal, dikemas dengan gaya bahasa khas Babad yang bisa memikat khalayak. Para pembacanya pun terbawa alur penceritaan berbahasa indah yang mengangkat Wali Songo sebagai tokoh itu, namun materinya tentu saja versi Belanda. Akhirnya sebagian khalayak berhasil dibikin percaya bahwa Wali Songo adalah mitos.

Baca Juga :   Peristiwa Sejarah Penting Indonesia di Bulan Ramadhan: Dari Proklamasi hingga Penumpasan PRRI

Salah satu senjata sastra Belanda itu, misalnya, Babad Kediri yang disusun tahun 1832—dua tahun setelah Perang Diponegoro berakhir. Babad tersebut disusun seorang jaksa pribumi bernama Mas Ngabehi Poerbawidjaja. Dia menulis babad tersebut setelah mendapat proyek dari Residen Kediri—seorang Belanda totok. Tugasnya adalah menyusun sebuah cerita yang mengecilkan peran Wali Songo, dengan latar belakang sejarah Kediri.

Jaksa Poerbawidjaja lantas meminta bantuan seorang dalang wayang krucil bernama Ki Dhermakonda. Namun, Ki Dhermakonda mengaku tak mengetahui sejarah Kediri. Maka, si dalang pun meminta bantuan jin bernama Buto Locaya.

Untuk mendengarkan cerita Buto Locaya, diperlukan tubuh yang bisa dirasuki. Maka dipilihlah tubuh dalang lain bernama Ki Sondong. Singkat kata, Ki Sondong “kesurupan” dan meracau. Racauannya berisi tentang pendiskreditan Sunan Bonang dan Sunan Giri. Racauan itulah yang dijadikan referensi oleh Poerbawidjaja, hingga jadilah Babad Kediri.

Dalam racauan Ki Sondong, Sunan Bonang dan Sunan Giri digambarkan berdakwah dengan jalan intoleran. Kedua sunan tersebut digambarkan telah melakukan tindakan-tindakan yang merusak tatanan dalam dakwah penyebaran Islam.

Baca Juga :   Ratu Kalinyamat: Pemimpin Perempuan Pemberani dari Jepara yang Namanya Kalah Harum dari Kartini

Usaha mendegradasi nilai-nilai Islam oleh Belanda tak berhenti di situ. Ada lagi karya sastra lain yang memojokkan peran para wali. Serat Syekh Siti Jenar karya Raden Panji Natarata, misalnya. Serat ini mengusung isi cerita dan pandangan negatif terhadap Wali Songo. Dalam serat itu Syekh Siti Jenar dikisahkan dibunuh oleh Sunan Kalijaga.

Menurut KH. Agus Sunyoto, sejarawan Nahdlatul Ulama (NU)—yang tekun mengkaji sejarah Wali Songo secara ilmiah—Serat Syekh Siti Jenar juga merupakan hasil karya yang lahir dari perintah Belanda untuk memperburuk citra Islam. Dalam karya itu, Wali Songo digambarkan sebagai penyebar Islam yang licik dan membunuh Syekh Siti Jenar. Bahkan, Wali Songo diceritakan sengaja mengganti jenazah Jenar dengan bangkai anjing.

”Padahal, dalam tradisi lisan di kalangan pengikut Syekh Siti Jenar yang diwariskan turun-temurun dalam tarikat Akmaliyah, tokoh Syekh Siti Jenar dikisahkan tidak dibunuh oleh Wali Songo, melainkan wafat dengan cara selayaknya orang meninggal,’” jelas Agus Sunyoto, dalam karyanya Suluk Syekh Siti Jenar.

Ada lagi tindakan-tindakan ahistoris—kalau tidak boleh dikatakan naif—ketika sekumpulan intelektual Indonesia membincang tentang Islam Indonesia tanpa menyertakan Wali Songo di dalamnya. Pertimbangan mereka karena adanya perbedaan paham dan aliran terkait para wali.

Baca Juga :   Sunan Giri (2): Ulama Sekaligus Raja Penyebar Islam hingga Indonesia Timur

Fakta ahistoris naif itu bisa ditemukan dalam Ensiklopedia Islam yang ditulis oleh Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, terbitan PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, tahun 1993. Dalam ensiklopedia tersebut, tidak ada satu kalimat pun yang menyebut Wali Songo; tokoh-tokoh penyebar Islam pada zaman Wali Songo; khazanah kekayaan budaya Islam zaman Wali Songo—seperti karya sastra, seni musik, seni rupa, seni pertunjukan, seni suara, desain, arsitektur, filsafat, tasawuf, hukum, tata negara, etika, ilmu falak, sistem kalender; serta ilmu pengobatan yang lahir dan berkembang pada masa Wali Songo serta sesudahnya.

Artikel Terkait

Leave a Comment