samudrafakta.com

Syekh Jumadil Kubra, Moyang Para Wali yang Meruwat Tanah Jawa

Ahmad Baso berbeda pendapat soal ini. Menurut dia, pendapat bahwa Syekh Jumadil Kubro merupakan sepupu Sunan Ampel adalah keliru. Sunan Ampel bukan sepupu, melainkan cucu dari Syekh Jumadil Kubro—menurut Ahmad Baso.

Kesimpulan dari penelitian Wandi yang dibukukan dengan judul Sejarah Peradaban Islam (2020) lain lagi. Di situ tertulis bahwa Syekh Jumadil Kubro adalah ayah dari Syekh Maulana Ishaq dan Syekh Maulana Malik Ibrahim—dua tokoh perintis penyebaran agama Islam di Nusantara.

 Martin Van Bruinessen, mengutip Legenda rakyat berbahasa Jawa dari wilayah Tengger, Cariose Telaga Ranu, juga menyebut nama Maulana Ishaq dan Syekh Jumadil Kubra. Namun, keduanya diaebut saudara dari dua pertapa, Ki She Dadaputih di Gunung Bromo dan Ki She Nyampo di Sukudomas. Maulana Ishaq pergi ke Blambangan dan menjadi ayah Raden Paku (Sunan Giri), sementara Jumadil Kubra menjadi guru di Mantingan.

Keberadaan Syekh Jumadil Kubra di Mantingan juga disebut dalam Serat Kandha. Ia disebut sebagai salah satu dari empat tokoh suci umat Islam di zaman kuno. Tiga lainnya adalah Nyampo di Suku Dhomas, Dada Pethak di Gunung Bromo, dan Maulana Ishaq di Blambangan.

Baca Juga :   Sunan Drajat: Pembela Fakir Miskin, Gigih Ajarkan Kemandirian

Isno, dosen Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Raden Wijaya Mojokerto, dalam Pendidikan Islam Masa Majapahit dan Dakwah Syekh Jumadil Kubra, terbit di Jurnal Pendidikan Agama Islam Vol. 03, No. 01, Mei 2015, menambahkan, nama Syekh Jumadil Kubra juga dikenal di kalangan pengikut Syekh Siti Jenar. Menurut cerita tutur, Syekh Jumadil Kubra adalah teman baik Syekh Siti Jenar saat membawa penawar atas tanah-tanah angker bekas pemujaan aliran Yoga-tantra.

 Belum ada satu bukti arkelogis yang cukup otentik untuk menyibak kabut identitas sosok yang bernama Syekh Jumadil Kubra, seperti makam atau prasasti. Alih-alih, makam beliau bertebaran cukup banyak di pulau Jawa, bahkan sampai di Sulawesi. Semua makam-makam ini oleh penduduk setempat diyakini sebagai makam Syekh Jumadil Kubro, dan masih tetap di ziarahi hingga hari ini.

Sesuai dengan kisah hidupnya yang memiliki banyak versi, makam Syekh Jumadil Kubro pun ternyata tidak cuma satu. Ada banyak tempat yang diyakini sebagai tempat peristirahatannya. Makam ini tersebar dari Semarang, Yogyakarta, Mojokerto, dan Wajo. Mana yang benar? Tidak ada yang tahu. Tetapi, banyak kalangan meyakini bahwa makam asli Syekh Jumadil Kubro berada di Wajo.

Baca Juga :   Kenali Tiga Tokoh Penting Sumpah Pemuda asal Jawa Timur ini

Agus Sunyoto juga mengungkapkan versi lain mengenai sosok Syekh Jumadil Kubro, menurut legenda yang diyakini oleh sebagian masyarakat sekitar Gunung Merapi—terletak Jawa Tengah dan Yogyakarta. Konon, Syekh Jumadil Kubro adalah seorang ulama dari Majapahit (Mojokerto) yang menyingkir ke hutan di lereng Merapi dan menetap di situ hingga wafatnya.

Di Semarang, sebuah makam tua yang terletak di antara Tambak dan Terboyo, juga diyakini penduduk sebagai maka Syekh Jumadil Kubra. Demikian juga di Desa Turgu, di lereng Gunung Merapi, terdapat juga makam yang diyakini sebagai makam Syeik Jumadil Kubra.

Yang paling terkenal, dan dianggap cukup otentik, adalah makam di daerah Mojokerto, Jawa Timur. Terakhir, sebagian masyarakat juga meyakini makam Syekh Jumadil Kubra ada di Tosora Kecamatan Majauleng, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan.

Di Wajo, Sulawesi Setalan, masyarakat setempat cukup menyakini makam tersebut sebagai makam Syekh Jumadil Kubra, terlebih ketika makam ini pernah juga diziarahi oleh KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Hal ini juga diperkuat oleh penuturan sejarawan bernama Martin Van Bruinessen, yang mengatakan ada kemungkinan makam Syekh Jumadil Kubra yang asli justru terletak di Wajo, karena jejak terakhir dakwah beliau adalah di kawasan Kerajaan Gowa.

Baca Juga :   Inilah Sejarah Gerak Jalan Perjuangan Mojokerto-Surabaya

Menurut Muhammad Chawari, arkeolog Balai Arkeologi Yogyakarta dalam Fenomena Islam pada Masa Kebesaran Kerajaan Majapahit yang terbit di Majapahit: Batas Kota dan Jejak Kejayaannya, dari seluruh makam di Troloyo yang ada prasastinya, hanya satu nisan yang menyebut nama, yaitu Zayn ud-Din—atau mungkin bisa dibaca sebagai Zaenuddin. Angka tahun yang tertera pada nisan ini yaitu 874 H atau 1469 M. Paling tidak yang bisa diketahui, mereka yang dimakamkan di sana adalah penduduk kota Majapahit dan keluarga raja yang telah memeluk agama Islam—khususnya tujuh makam bertuliskan aksara Arab yang letaknya tak jauh dari pusat kota Majapahit.

Artikel Terkait

Leave a Comment