samudrafakta.com

Sunan Gunung Jati (1): Berdakwah Menggunakan Strategi Politis-Struktural

Pangeran Sulaeman Sulendraningrat, dalam Babad Tanah Sunda: Babad Cirebon, menyebut bahwa para wali di Jawa menetapkan Syarif Hidayatullah sebagai Panetep Panatagama Rasul di tanah Sunda. Sebutan lain untuknya adalah Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panatagama Awlya Allah Kutubid Jaman Khalifatur Rasulullah Saw.

Dalam naskah yang diberi subjudul Jeng Maulana Insan Kamil Sinareng Ki Kuwu Cirebon Tumindhak ing Banten, dikisahkan bagaimana Syarif Hidayat bersama Sri Mangana dari Keraton Pakuan Pajajaran melanjutkan perjalanan ke barat menuju Banten. Di Banten, mereka berhasil mengislamkan Ki Gedeng Kawunganten beserta rakyatnya. Syarif Hidayat kemudian menikahi putri Ki Gedeng Kawunganten, Nyai Kawunganten. Setelah sebulan tinggal di Banten, Syarif Hidayat beserta istrinya, Nyai Kawunganten, dan Sri Mangana kembali ke Cirebon.

Dari pernikahannya dengan Nyai Kawunganten, lahir dua orang anak, yaitu Ratu Winaon yang menikah dengan Pangeran Atas-Angin atau Pangeran Raja Laut; dan Pangeran Sabakingkin, yang kelak menjadi Sultan Banten bergelar Sultan Hasanuddin.

Di Cirebon, Syarif Hidayat tinggal di pesantrennya, di Gunung Sembung. Dia menjadi imam sekaligus guru mengaji. Siang dan malam dia mengampu pelajaran dan memberikan nasihat kepada murid-muridnya.

Kisah dakwah Syarif Hidayat—selain ditandai kisah pernikahan, pencarian ilmu, dan peperangan—juga ditandai penggalangan kekuatan para tokoh yang dikenal memiliki kesaktian, kekuatan politik, serta kekuatan senjata. Di antara tokoh yang masyhur kedigdayaannya dan memiliki kekuatan senjata, yang kemudian menjadi pengikut Syarif Hidayatullah, adalah Ki Dipati Keling, Nyimas Gandasari alias Nyimas Panguragan, Pangeran Karangkendal, Pangeran Panjunan, Pangeran Sukalila, dan terutama mertuanya sendiri, Pangeran Cakrabuana yang menjadi Raja Cirebon dengan gelar Sri Mangana.

Baca Juga :   Gus Dur dan 4 Versi Tanggal Lahir

Kekuatan senjata dan tokoh-tokoh digdaya yang digalang Syarif Hidayat itu menunjukkan hasil yang mengejutkan ketika kekuatan umat Islam di Cirebon diserbu oleh pasukan Raja Galuh—yang berakhir dengan kemenangan Cirebon. Dengan takluknya Raja Galuh, dakwah Islam seketika berkembang pesat di bekas wilayah yang takluk tersebut.

Takluknya Raja Galuh Prabu Cakraningrat oleh Pangeran Karang Kendal yang dibantu Raja Cirebon Sri Mangana, meruntuhkan mental dan semangat tempur pasukan Galuh. Akhirnya, bukan hanya keluarga raja dan para pejabat tinggi Raja Galuh yang memeluk Islam, rakyat di berbagai penjuru negeri Raja Galuh pun beramai-ramai masuk Islam.

Setelah Galuh takluk dan Prabu Cakraningrat dikisahkan menghilang tak diketahui ke mana rimbanya, berikutnya giliran kerajaan-kerajaan sekitar Cirebon yang ditaklukkan. Carita Purwaka Caruban Nagari dan Babad Tjerbon menuturkan bahwa tak lama setelah jatuhnya Raja Galuh, Raja Indramayu yang bernama Arya Wiralodra—bergelar Prabu Indrawijaya—juga menyatakan takluk kepada kekuasaan Cirebon dan menyatakan diri masuk Islam.

Tak lama kemudian, Kerajaan Talaga juga diberitakan menyerah kepada Cirebon, setelah putra mahkota Talaga, Pangeran Arya Salingsingan, memeluk Islam dan menyerahkan pusaka kerajaan Keris Kaki Naga Dawa, Tombak Cuntangbarang, dan putrinya yang bernama Nyai Cayadi kepada Syarif Hidayat.

Baca Juga :   Fatimah binti Maimun, Perempuan Pertama Penyebar Islam di Nusantara

Sementara itu, Raja Talaga Prabu Pucuk Umun dan Ratu Mandapa, putrinya dikisahkan enggan memeluk Islam. Mereka memilih meninggalkan Keraton Talaga setelah Pangeran Arya Salingsingan memeluk Islam dan menyerahkan kerajaan kepada Syarif Hidayat.

Keberhasilan Syarif Hidayat menegakkan kekuasaan Islam di Cirebon dan Banten tidak hanya memberikan keleluasaan dakwah Islam di bumi Sunda, tetapi juga menjadikan keraton sebagai pusat kesenian dan kebudayaan bernuansa agamais. Kondisi tersebut membuat gerakan dakwah Islam meluas dengan cepat hingga ke seluruh pelosok wilayah Pasundan.

Dengan makin kuatnya kekuasaan Keraton Cirebon dan Banten, sisa-sisa kekuasaan Raja Pajajaran makin lama kian lemah. Pada era Sultan Maulana Yusuf—cucu Syarif Hidayat—naik tahta Banten, dilakukan penaklukan terhadap sisa-sisa kekuasaan Kerajaan Pajajaran yang berlangsung pada tahun 1575 M.

Sunan Gunung Jati meninggal dunia pada 12 Dzulhijjah 974 H atau 1568 M. Makamnya terletak di Gunung Sembung, Desa Astana, Kecamatan Cirebon Utara, Kabupaten Cirebon. Seperti makam Wali Songo lainnya, makam Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati berada di dalam tungkub, berdampingan dengan makam Fatahillah, Syarifah Muda’im, Nyi Gedeng Sembung, Nyi Mas Tepasari, Pangeran Dipati Cerbon I, Pangeran Jayalelana, Pangeran Pasarean, Ratu Mas Nyawa, dan Pangeran Sedeng Lemper. Di sebelah luar tungkub terdapat dua makam tokoh yang dekat dengan Sunan Gunung Jati, yaitu makam Pangeran Cakrabuana dan Nyi Ong Tien, mertua dan istri Sunan Gunung Jati.

Baca Juga :   Selain Madiun, 3 Lokasi Ini Dicatat sebagai Tempat Pembantaian PKI di Jawa Timur

Berbeda dengan makam-makam keramat Wali Songo yang lain, makam Sunan Gunung Jati tidak bisa diziarahi langsung oleh peziarah. Pasalnya, areanya terletak di tingkat sembilan, dengan sembilan pintu gerbang. Kesembilan pintu gerbang itu memiliki nama berbeda-beda, seperti Pintu Gapura, Pintu Krapyak, Pintu Pasujudan, Pintu Ratnakomala, Pintu Jinem, Pintu Rararoga, Pintu Kaca, Pintu Bacem, dan terakhir Pintu Teratai—yaitu pintu untuk ke area makam Sunan Gunung Jati. Para peziarah hanya diperbolehkan ziarah sampai ke pintu ketiga yang disebut pintu Pasujudan atau Sela Matangkep.[—bersambung]

Gerbang Pasujudan di kompleks makam Sunan Gunung Jati. (Dok. Istimewa)

(Wijdan | Diolah dari Berbagai Sumber)

 

 

Artikel Terkait

Leave a Comment