samudrafakta.com

Putusan DKPP Soal Pelanggaran Etik Komisioner KPU Dinilai Sudah Telat

JAKARTA–Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) memvonis Ketua KPU RI Hasyim Asy’ari dan enam anggota lainnya melanggar kode etik dalam menerima pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden Pemilu 2024. Pakar hukum menilai putusan itu sudah terlambat.

Putusan DKPP tersebut merupakan tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai batas usia calon presiden dan calon wakil presiden.

DKPP menyatakan bahwa Hasyim, sebagai teradu satu, terbukti melakukan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku penyelenggara Pemilu.  Tindakan para teradu dianggap tidak sesuai dengan tata kelola administrasi tahapan pemilu Hasyim terbukti melanggar kode etik dan pedoman perilaku dalam empat perkara, masing-masing dengan nomor 135-PKE-DKPP/XII/2023, 136-PKE-DKPP/XII/2023, 141-PKE-DKPP/XII/2023 dan 137-PKE-DKPP/XII/2023. Sementara untuk enam komisioner KPU RI lainnya diberi peringatan keras.

Ketua Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar, menilai putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu sudah terlambat.

“Terlambatnya cukup jauh, karena sekarang posisinya sudah mengunci. Sudah tidak mungkin lagi ada efek diskualifikasi, kan,” ujar Zainal di Yogyakarta, seusai menjadi pembicara dalam diskusi bertajuk ”Kajian Hukum Politik Dinasti dan Cawe-cawe Jokowi dalam Pilpres 2024” yang digelar Forum Cik Di Tiro, Senin (5/2/2024).

Baca Juga :   Jokowi Mengaku Pegang Data Intelijen Pergerakan Parpol, Dianggap Wajar, Tetapi…

Menurut Zainal, dengan pelaksanaan pemilu yang tersisa sembilan hari lagi, sudah tidak memungkinkan untuk mengubah pencalonan. Selain itu, tidak ada pula konteks aturan implikasi hukum yang jelas dari pelanggaran etik tersebut.

Meski begitu, kata Zainal, putusan etik itu sebenarnya bisa dijadikan sandaran buat publik. ”Bahwa bagaimana mungkin kita memilih orang yang cacat secara etik dan kedua, bagaimana mungkin kita membiarkan kandidat pemimpin yang sengaja merekayasa catatan etik itu,” ujarnya.

Sementara itu, mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Busyro Muqoddas menyatakan, putusan DKPP itu sebagai kejujuran sejarah. ”Artinya, dengan keputusan itu, ada problem etik yang semakin memuncak,” kata tokoh Pusat Studi HAM Universitas Islam Indonesia itu.

Karena problemnya etik, menurut Busyro, hal ini harus menjadi agenda seluruh elemen kekuatan masyarakat sipil agar bagaimana ada satu tekanan massal supaya Presiden Joko Widodo mempertimbangkan dengan saksama agar anaknya, Gibran Rakabuming Raka, mundur dari pencalonan.

”Walaupun sudah jadi cawapres, dengan putusan DKPP tadi cacat secara etik dan moral sekaligus, sebaiknya dipertimbangkan untuk mundur,” ujar Busyro.

Baca Juga :   Habiskan Anggaran Rp30 Miliar, Sirekap KPU RI Panen Kritikan

Putusan DKPP ini juga disinggung oleh salah satu hukum tata negara UGM, Yance Arizona. Menurut dia, putusan ini sebenarnya sesuatu yang bisa diajukan untuk dibatalkan oleh pengadilan jika KPU tidak mau mengoreksi putusannya itu.

”Jadi, ini sesuatu yang rentan akan terus-menerus jadi PR (pekerjaan rumah). Bahkan, saya yakin nanti ketika persidangan di MK (Mahkamah Konstitusi), persoalan ini akan kembali muncul untuk diperdebatkan,” tutur Yance.

Sementara itu, Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti mengatakan, putusan sidang etik Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) kepada Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Hasyim Asy’ari bisa ditindaklanjuti ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) atau Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) sebagai bukti gugatan administratif pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden (cawapres).

“Putusan DKPP ini kan soal etik mirip sama putusan Mahkamah Konstitusi (MK) kemarin. Implikasi terhadap pencalonan Gibran memang tidak ada. Tapi bisa ditindaklanjuti oleh Bawaslu dan PTUN untuk jadi keputusan administratif dan hukum,” kata Bivitri, dikutip dari Media Indonesia, Senin (5/2).

Baca Juga :   Diusung Nasdem sebagai Capres adalah Kesempatan Kedua Anies setelah Gagal 10 Tahun Lalu

Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera itu mengatakan, jika ada pihak lain yang membawa hasil putusan DKPP sebagai bukti ke Bawaslu atau PTUN bisa ditindaklanjuti. Di ujungnya jika ada paslon lain melakukan gugatan PHPU (perkara perselisihan hasil pemilihan umum) di MK, putusan itu bisa jadi modal bukti yang diajukan soal legitimasi pencalonan,” kata Bivitri.

Putusan DKPP itu, kata dia, juga mempertegas persoalan etik pencalonan Gibran sudah bermasalah sejak putusan MK soal batas usia capres dan cawapres.

“Ini mempertegas bahwa Pilpres kali ini bermasalah sejak awal. Mulai dari putusan MK atas pencalonan Gibran. Tim Prabowo-Gibran pasti klarifikasi putusan DKPP dari aspek hukum. Tapi, berbicara pemilu tidak hanya soal hukum, tapi dari sisi etika politiknya juga sudah bermasalah,” kata dia.❒

Artikel Terkait

Leave a Comment