samudrafakta.com

MK Yakin Selesaikan Sengketa Pilpres dalam 14 Hari, Pengamat Menilai Tidak Logis

Ilustrasi Ketua MK Suhartoyo dengan latar belakang Gedung Mahkamah Konsitusi. (AI. SF)
JAKARTA—Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo menyatakan pihaknya siap menyelesaikan sengketa Pemilihan Umum (Pemilu) 2024—utamanya Pemilihan Presiden (Pilpres)— memaksimalkan tenggat waktu yang diberikan untuk memutus Perkara Hasil Pemilihan Umum (PHPU) selama 14 hari kerja sejak permohonan tercatat di MK. Pengamat menilai durasi itu tidak logis.

“MK, secara faktual, hanya menyampaikan ada hukum acara bahwa harus memutus (sengketa Pilpres) dalam 14 hari kerja. Kami akan semaksimal mungkin melakukannya,” kata Suhartoyo di Pusat Pendidikan dan Pelatihan (Pusdiklat) MK, Cisarua, Bogor, Jawa Barat, dikutip Kamis (7/3/2024).

Namun demikian, Suhartoyo sendiri mengakui bahwa waktu 14 hari itu terlalu singkat. Karena, menurut dia, setiap dalil yang diajukan pihak pemohon harus dibuktikan.

Pembuktian bisa dilakukan dengan banyak cara, seperti melalui surat, saksi, atau ahli. “Nah, kalau ada 1.000 dalil, saksinya harus 1.000, kapan kita mau periksa 1.000 saksi itu? Padahal kan setiap satu dalil itu kan harus dibuktikan,” katanya.

Namun begitu, Suhartoyo mengatakan bahwa MK akan bekerja maksimal dalam memutus perkara PHPU karena, bagaimana pun, kata dia, tenggat waktu 14 hari bersifat absolut.

Baca Juga :   Jika Terpilih, Mahfud MD Kemungkinan Bakal Ubah Nama KPK

Insya Allah. Kalau hari itu sepertinya absolut lho, limitatif, enggak bisa ditawar itu,” katanya pula.

Sebagai informasi, kewenangan MK memutus perselisihan hasil Pemilu telah diamanatkan dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 maupun UU MK.

Pasal 50 Peraturan MK Nomor 4/2023 tentang Tata Beracara dalam Perkara PHPU Presiden dan Wakil Presiden, mengatur bahwa perkara harus diputus paling lama 14 hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (eBRPK).

Batas waktu 14 hari juga diatur dalam Pasal 475 UU Pemilu. Sedangkan tenggat waktu bagi MK memutus sengketa Pileg maksimal 30 hari, dan sengketa Pilkada maksimal 45 hari.

14 Hari Dinilai Tidak Logis

Secara terpisah, peneliti kepemiluan dan dosen Universitas Indonesia (UI), Titi Anggraini, berharap MK tidak terjebak dengan memaksakan untuk menyelesaikan sengketa Pilpres dalam waktu 14 hari. Ia mendorong MK untuk berani menangani perkara lebih dari batas waktu, demi mencari kebenaran substantif.

“Ketika MK ada problem dalam penetapan hasil Pemilu, Mahkamah bukan tidak mungkin menemukan bahwa 14 hari (penyelesaian sengketa) itu menghambat Mahkamah dalam menggali esensi dari praktik Pemilu konstitusional,” kata Titi di Pusdik MK, Puncak, Bogor, Jawa Barat, Rabu (6/3/2024) malam.

Baca Juga :   Tim Hukum AMIN Minta MK Hadirkan Menkeu dan Mensos untuk Ungkap Dugaan Politisasi Bansos  

Terkait durasi penyelesaian sengketa Pemilu, kata Titi, MK sudah melakukan beberapa terobosan, terutama dalam konteks Pilkada. Salah satu contohnya, kata Titi, ketika MK melakukan sidang khusus dalam Pilkada Kabupaten Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur (NTT). Sidang tersebut berlangsung lebih dari 45 hari–sebagaimana tenggat waktu maksimal untuk menyelesaikan sengketa Pilkada sebagaimana amanat UU.

“Mahkamah bisa saja, dalam proses pemeriksaan itu, menggunakan waktu yang dianggap lebih memadai dan lebih bisa menghadirkan upaya untuk mewujudkan pemeriksaan perkara. Sehingga apa yang menjadi tujuan menghadirkan Pemilu yang konstitusonal itu bisa terwujud,” lanjut Titi.

Titi menilai, munculnya keputusan bahwa sengketa Pilpres harus selesai dalam 14 hari karena pembuat kebijakan mempertimbangkan kemungkinan Pemilu bakal berlangsung dua putaran.

Maka dari itu, menurut Titi, para perumus kebijakan mendorong agar sengketa selesai tidak lebih dari masa pelantikan Presiden terpilih pada 20 Oktober 2024. Karena itulah ditetapkan 14 hari.

Namun, jika melihat dinamika politik saat ini, Titi menyarankan agar sengketa Pilpres memiliki waktu sama seperti Pileg, yakni ditangani dalam kurun waktu 30 hari.

Baca Juga :   Soal Wacana PDIP Jadi Oposisi Prabowo-Gibran, Jokowi Komentar Begini

“Pilpres dapilnya nasional, luar negeri, kan, hanya 14 hari. Dari situ saja, itu adalah kebijakan hukum yang tidak logis. Padahal, open legal policy harus rasional berkeadilan, dan juga memberikan kepastian hukum untuk mendapatkan putusan yang sesuai amanat konstitusi,” pungkas Titi.

Artikel Terkait

Leave a Comment