samudrafakta.com

Salah Paham Pemerintah soal Proposal Ormas Keagamaan: ‘Pemilik Saham’ Negara yang Dianggap seperti Pengemis

Ilustrasi. SF
YOGYAKARTA–Salah satu alasan pemerintah memberikan Izin Usaha Pertambangan (IUP) untuk organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan, sebagaimana yang dikemukakan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya Bakar, adalah untuk merapikan administrasi dan profesionalitas manajemen ormas, agar tak lagi melulu mengedarkan proposal. Tepatkah alasan Bu Menteri? 

Sebagaimana ramai diberitakan beberapa waktu lalu, Siti Nurbaya Bakar mengatakan, “Daripada ormasnya setiap hari nyariin proposal, minta apa, apa namanya mengajukan proposal, kan lebih baik dengan sayap bisnis yang rapi dan tetap profesional. Itu sih sebetulnya.”

Ketika Siti Nurbaya Bakar menyebut, “Ormas terbiasa setiap hari mengajukan proposal untuk pendanaan operasionalnya,” menurut hemat penulis, pernyataan semacam ini bisa menimbulkan pro-kontra di masyarakat. Ucapan sang menteri bisa dinilai tidak relevan dengan moral dan fakta.

Mari kita mengilas balik. Dari segi moral politik, negara ini lahir dari ormas-ormas keagamaan. Ada Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, dan lainnya. Saat negara Indonesia belum lahir, ormas-ormas ini telah berinvestasi, baik tenaga, pikiran, finansial, bahkan mengorbankan jiwa raga.

Baca Juga :   Menyimak Linimasa Konsesi Tambang untuk PBNU: Ada Indikasi Politik Praktis hingga Kepentingan Bisnis?

Mbah Ahmad Dahlan melalui Muhammadiyah mendirikan lembaga pendidikan modern, yang bisa diakses semua kalangan—yang berbeda dari lembaga pendidikan kolonial yang diskriminatif. Muhammadiyah mendirikan rumah sakit dan usaha-usaha yang luas.

Bahkan, jangan lupa, negara punya utang pada Muhammadiyah sebesar Rp1,2 triliun, menurut data yang beredar di DPR.

Sementara NU, ormas ini memang tidak bergerak di bidang ekonomi. Jika pun ada, tidaklah sebesar Muhammadiyah. Namun, utang negara pada NU dalam menjaga NKRI dan kohesi sosial tidak dapat dipungkiri. Hal tersebut pernah disampaikan oleh Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) Komaruddin Hidayat. NKRI menjadi harga mati, kemarin, kini dan di masa depan.

Walaupun tidak sebesar Muhammadiyah, tetapi perlu juga diketahui bahwa pada Muktamar ke-27 NU, 8-12 Desember 1984 di Situbondo, semangat Nahdlatut Tujjar kembali diangkat. Dalam keputusan Muktamar dikatakan:

“Nahdlatul Ulama, dalam meningkatkan solidaritas sosial perekonomian, perlu mengadakan pendekatan dengan kelompok-kelompok lain yang bergerak di bidang ekonomi, baik dalam negeri maupun luar negeri, dan hendaknya dilaksanakan dengan cara seefektif mungkin untuk menghindari terjadinya dominasi ekonomi oleh golongan tertentu dalam rangka perekonomian Pancasila,” (Aula, Juli 2022:75).

Baca Juga :   Soal Konsesi Tambang dari Pemerintah: PBNU Mengaku Butuh, Muhammadiyah Tunggu Legal Opinion

NU pun sebenarnya punya fokus pada bidang ekonomi. Hal tersebut bisa dilihat dari hasil-hasil keputusan Muktamar NU, sejak Muktamar ke-24 sampai ke-31. Dari keputusan-keputusan tersebut, sebenarnya tampak jelas bahwa Nahdlatut Tujjar NU harus menjadi relasi ekonomi dengan semua pihak, dalam maupun luar negeri.

Dengan kata lain, jika pemerintah mau itung-itungan secara adil, ‘saham’ terbesar negara ini sebenarnya ada di tangan ormas-ormas keagamaan. Bukan hanya ormas, ada juga raja-raja di banyak keraton telah berinvestasi terhadap perjuangan kemerdekaan Bangsa Indonesia dan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Secara umum barangkali bisa dikatakan bahwa rakyat Indonesia adalah pemilik sesungguhnya negara.

Artikel Terkait

Leave a Comment