samudrafakta.com

Mengglorifikasi Cinta Tanah Air Tanpa Henti Meski Sering Dianggap Sepi

Warga yang datang langsung memadati area sekitar masjid, halaman sekitar rumah Sang Mursyid, lapangan-lapangan, dan hampir semua titik di area Pesantren Shiddiqiyah. Bahkan ada sebagian yang terpaksa duduk-duduk di sekitar ruas Jalan Raya Ploso-Babat, demi bisa menyimak langsung ceramah Kiai Tar. Mereka tidak kebagian tempat di dalam areal pesantren.

Sebelum menyampaikan ceramah, Kiai Tar meresmikan 36 gedung Bustan Tsamrotul Qolbissalim (BTQ), atau gedung sekolah khas Shiddiqiyyah, se-Indonesia. “BTQ merupakan bibit takwa untuk melanjutkan kebaikan-kebaikan di masa mendatang,” pesan Kiai Tar dalam sambutan menjelang peresmian.

Di awal ceramahnya, Kiai Tar mengajak semua warga Shiddiqiyah mengirimkan simpati dan empati bagi korban gempa berkekuatan M 7,8 di Turki dan Suriah—yang menelan korban sekitar 46 ribuan jiwa.

Tentang Isra’ Mikraj yang diperingati malam itu, menurut Kiai Tar, adalah mukjizat paling dahsyat kedua yang dianugerahkan Allah Swt. kepada Nabi Muhammad Saw. setelah Al-Quran. Dalam momentum tersebut, Nabi Muhammad Saw. diperjalankan oleh Allah Swt. dari Masjidil Haram di Mekkah ke Masid Aqsha di Palestina dengan predikat sebagai hamba Allah atau abdihi. Maka dari itu, pangkat hamba Allah, menurut Kiai Tar, adalah pangkat tertinggi di atas pangkat nabi, malaikat, dan lain-lain di hadapan Allah.

Baca Juga :   Menggali Akar Sukarno di Jawa Timur

Kiai Tar juga menerangkan bahwa Rajab—bulan ketika Isra’ Mikraj berlangsung—adalah bulannya Allah. Sedangkan Sya’ban adalah bulannya Nabi Muhammad Saw. Sementara Ramadhan, menurut Kiai Tar, juga bulannya Allah. Jika berpijak pada perhitungan status bulan-bulan tersebut, menurut Kiai Tar, maka kemerdekaan Bangsa Indonesia—yang didapatkan pada bulan Ramadhan 1364 H—adalah rahmat dan berkat agung dari Allah Swt.

Hari Kemerdekaan bangsa Indonesia pada 17 Agustus 1945 bertepatan dengan 9 Ramadhan 1364 H. Artinya, kemerdekaan itu didapatkan di bulannya Allah. Maka dari itu, Kiai Tar menilai bahwa kemerdekaan Indonesia adalah rahmat dan berkat agung yang dianugerahkan Allah secara khusus—atau yakhtasu bi rahmatihi man yasa’. Karena itulah kemerdekaan Indonesia wajib disyukuri—sebab dia adalah anugerah yang luar biasa untuk Indonesia.

Kiai Tar menganalogikan anugerah kemerdekaan untuk bangsa Indonesia layaknya anugerah agung berupa kabar gembira dari Allah untuk Nabi Ibrahim dan Siti Sarah, ketika mereka hendak dikaruniai putra kendati keduanya telah berusia lanjut—yang secara ilmu medis dan rasionalitas manusia tidak mungkin mendapatkan keturunan.

Baca Juga :   KH. Abdul Mu’thi: Pengusaha Bertangan Dingin, Aktivis, dan Guru Ngaji Sukarno Kecil

Untuk mensyukuri dan menjaga anugerah kemerdekaan tersebut, Kiai Tar dan Tarekat Shiddiqiyyah mengklaim senantiasa mengampanyekan dan mempraktikkan wacana mengenai jati diri bangsa Indonesia. Dalam banyak kesempatan, Kiai Tar selalu mengingatkan pentingnya jati diri itu. Jangan sampai terkikis. Sebab, menurut Kiai Tar, terkikisnya jati diri bangsa adalah bahaya yang sangat besar.

Jika jati dirinya terkikis, menurut Kiai Tar, negara Indonesia ini ibarat fatamorgana. Ada atau tidak ada sama saja. Dan bahaya terbesar yang mengancam Indonesia, menurut Kiai tar, bukan gunung meletus, tanah longsor, atau tsunami, tetapi bahaya terbesar itu adalah terkikisnya jati diri bangsa.

KH. Muchammad Muchtar Mu’thi ketika menyampaikan ceramah pada puncak rangkaian acara tasyakuran Hari Shiddiqiyyah. (Tangkapan layar dari Opshid Media)

Kiai Tar dalam ceramahnya juga menyampaikan doa dan harapan menuju kebangkitan tasawuf Nusantara untuk merajut perdamaian dunia. Untuk menyambut kebangkitan tersebut, menurut Kiai Tar, Ponpes Shiddiqiyyah mempersiapkan seluruh santrinya dengan tidak hanya memberikan pendidikan keislaman, tetapi juga mendidik dengan ilmu kemasyarakatan, keumatan, dan kebangsaan.

Dengan pengetahuan yang komperehensif, menurut Kiai Tar, diharapkan bakal lahir pribadi-pribadi beretika luhur, terpercaya, bertanggung jawab, berakhlak mulia, lentur, jujur, berintegritas, memiliki motivasi untuk tumbuh dan belajar, tangguh, dan percaya diri. Dalam pandangan Kiai Tar, ponpes bukan sekadar lembaga pendidikan agama Islam, tetapi juga tempat praktik berkebudayaan dari pengalaman sosiologis masyarakat dan lingkungannya.

Baca Juga :   IMQ, Jenjang D3 Khas Pesantren Shiddiqiyyah yang Mengajarkan Pendidikan “Luar-Dalam”

Ajaran KH. Muchtar Mu’thi dengan Tarekat Shiddiqiyyahnya—yang terus berupaya membangun kesadaran mengenai keislaman sebagai fondasi untuk hubbul wathon atau cinta tanah air itu—secara faktual diterima oleh banyak kalangan masyarakat. Salah satu indikasi diterimanya ajaran itu adalah banyaknya orang yang berbaiat menjadi warga Shiddiqiyyah. Menurut catatan Organisasi Shiddiqiyyah atau Orshid, tercatat ada lebih dari 5 juta orang telah berbaiat dan terdaftar sebagai warga Shiddiqiyyah, di mana mereka semua tersebar di seluruh muka bumi.

Artikel Terkait

Leave a Comment