samudrafakta.com

Memahami Metode Hisab dan Rukyat untuk Merawat Toleransi

Ada perbedaan dalam penentuan 1 Syawal 1444 H pada tahun 2023 M ini. Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) Muhammadiyah yakin 1 Syawal jatuh pada 21 April 2023 berdasarkan metode hisab, sementara Pemerintah belum menentukan karena masih menunggu hasil rukyat. Sementara itu, sesuai dengan kalender nasional yang sudah tercetak, 1 Syawal 1444 H jatuh pada 22 April 2023.  Kenapa bisa berbeda? Manakah metode yang lebih akurat, hisab atau rukyat?

Dalam kalender Hijriyah, sebuah hari diawali sejak terbenamnya matahari waktu setempat, bukan saat tengah malam. Sementara penentuan awal bulan atau kalender tergantung pada penampakan atau visibilitas bulan. Karena itu, satu bulan kalender Hijriyah dapat berumur 29 atau 30 hari.

Dalam dunia Islam istilah hisab sering digunakan dalam ilmu falak atau astronomi untuk memperkirakan posisi Matahari dan bulan terhadap bumi. Posisi Matahari menjadi penting karena menjadi patokan umat Islam dalam menentukan masuknya waktu shalat.

Sedangkan posisi bulan diperkirakan untuk mengetahui terjadinya hilal sebagai penanda masuknya periode bulan baru dalam kalender Hijriyah. Hal ini penting, terutama untuk menentukan awal Ramadhan saat Muslim mulai berpuasa, awal Syawal (Idul Fithri), serta awal Dzulhijjah saat jamaah haji wukuf di Arafah (9 Dzulhijjah) dan Idul Adha (10 Dzulhijjah).

Baca Juga :   Awas, Sakit Tenggorokan Bisa Mengganggu Ibadah Puasa, Ketahui Sebabnya dan Cara Mengatasinya

Dalam QS. Yunus (10): 5 dikatakan bahwa Allah sengaja menjadikan matahari dan bulan sebagai alat menghitung tahun dan perhitungan lainnya. Sementara dalam QS. Ar-Rahman (55): 5 disebutkan bahwa matahari dan bulan beredar menurut perhitungan.

Karena ibadah-ibadah dalam Islam terkait langsung dengan posisi benda-benda langit—khususnya Matahari dan bulan—maka sejak awal peradaban Islam menaruh perhatian besar terhadap astronomi. Astronom Muslim ternama yang telah mengembangkan metode hisab modern adalah Al-Biruni (973-1048 M), Ibnu Tariq, Al-Khawarizmi, Al-Batani, dan Habash.

Dewasa ini, metode hisab telah menggunakan komputer dengan tingkat presisi dan akurasi yang tinggi. Berbagai perangkat lunak atau software yang praktis juga telah dibikin. Hisab sering kali digunakan sebelum dilakukan rukyat. Salah satu hasil hisab adalah penentuan kapan ijtimak terjadi, yaitu saat matahari, bulan, dan bumi berada dalam posisi sebidang, atau disebut pula konjungsi geosentris. Konjungsi geosentris terjadi pada saat matahari dan bulan berada di posisi bujur langit yang sama jika diamati dari bumi. Ijtimak terjadi 29,531 hari sekali, atau disebut pula satu periode sinodik.

Baca Juga :   Soal Wacana Hak Angket Kecurangan Pemilu 2024, Muhammadiyah Bersikap Netral, PBNU Sebut Gimik Politik

Sementara rukyat adalah aktivitas mengamati visibilitas hilal, yaitu penampakan bulan sabit yang pertama kali tampak setelah terjadinya ijtimak. Rukyat dapat dilakukan dengan mata telanjang, atau dengan alat bantu optik seperti teleskop.

Rukyat dilakukan pada saat menjelang terbenamnya matahari pertama kali setelah ijtimak. Pada waktu ini, posisi bulan berada di ufuk barat, dan bulan terbenam sesaat setelah terbenamnya Matahari. Apabila hilal terlihat, maka pada petang atau Magrib waktu setempat telah memasuki tanggal 1.

Namun, hilal tak selalu dapat terlihat. Jika selang waktu antara ijtimak dengan terbenamnya Matahari terlalu pendek, maka secara teori, hilal mustahil terlihat, karena iluminasi cahaya Bulan masih terlalu suram dibandingkan dengan “cahaya langit” sekitarnya. Kriteria Danjon (1932, 1936) menyebutkan bahwa hilal dapat terlihat tanpa alat bantu jika minimal jarak sudut (arc of light) antara bulan-matahari sebesar 7 derajat.

Dewasa ini rukyat juga dilakukan dengan menggunakan peralatan canggih, seperti teleskop yang dilengkapi CCD Imaging. Namun, tentunya perlu dilihat lagi bagaimana penerapan kedua ilmu tersebut.

Baca Juga :   Tidurnya Orang Berpuasa Tak Selalu Bernilai Ibadah, Begini Penjelasannya

Artikel Terkait

Leave a Comment