JAKARTA | SAMUDRA FAKTA—Ada 195 anak meninggal dunia akibat gagal ginjal akut hingga awal November 2022. Banyak keluarga yang mengalami kerugian materiil dan imateriil karena harus kehilangan anak-anak mereka secara mendadak. Menyikapi fenomena ini, Tim Advokasi Untuk Kemanusiaan, mewakili sejumlah orang tua yang anak-anaknya menjadi korban, mengajukan gugatan class action kepada pemerintah dan perusahaan obat karena dinilai gagal melindungi warga negara.
“Negara semestinya bertanggung jawab, memberikan keadilan dan ganti kerugian yang layak bagi para korban. Namun, negara rupanya gagal menjamin keselamatan warganya. Gugatan ini menjadi penting dilakukan, sekaligus menjadi peringatan bagi pemerintah dan perusaahaan obat agar tak main-main dengan nyawa manusia,” ujar Tegar Putuhena, salah satu anggota Tim Advokasi, Jumat (18/11/2022).
Tim Advokasi menilai, selain Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sebagai representasi pemerintah, produsen obat dan pemasok bahan juga harus ikut bertanggung jawab. Maka dari itu, ada sembilan pihak yang menjadi tergugat, terdiri dari unsur pemerintah dan swasta.
“Pihak swasta harus turut memikul beban kesalahan ini. Produsen obat harusnya melakukan quality check sebelum obat diedarkan. Kemudian, saat beredar, semestinya ada quality control yang juga ketat. Di saat yang sama, pemasok bahan obat juga harus memastikan keamanan bahan yang disediakan, serta memenuhi standar mutu dan keselamatan konsumen,” imbuh Tegar.
Tim menilai, kejadian hilangnya ratusan nyawa anak ini menunjukkan betapa pemerintah dan perusahaan obat abai atas keselamatan masyarakat. “Gugatan class action ini didasarkan pada penilaian kami, bahwa seharusnya peristiwa kelam ini bisa dicegah andai pemerintah dan pihak swasta benar-benar memiliki itikad baik,” kata Tegar.
Apalagi, sebagaimana catatan Tim Advokasi, peristiwa serupa bukan baru pertama kali ini terjadi di dunia. Cemaran zat beracun etilen glikol (EG) dan dietilen Glikol (DEG) dalam obat sirup diduga kuat menjadi penyebab kasus gagal ginjal akut yang menewaskan ratusan anak di Indonesia. Setidaknya, sejak tahun 1990 telah terjadi peristiwa keracunan zat EG dan DEG yang tersebar di berbagai negara, di antaranya Nigeria pada tahun 1990 (40 anak meninggal); Bangladesh pada tahun 1990-1992 (339 anak meninggal); Argentina pada tahun 1992 (29 anak meninggal); Haiti pada tahun 1995-1996 (109 anak meninggal); Panama pada tahun 2006 (219 meninggal); dan Nigeria tahun 2008 (84 anak meninggal).
Ironisnya, meski sudah pernah ada preseden sejak 30 tahun lalu, pemerintah—dalam hal ini Kemenkes dan BPOM—tampak kaget menghadapi peristiwa yang tidak baru ini. Bahkan, dalam sebuah kesempatan, BPOM justru mencoba lari dari tanggung jawab dan menyatakan ketidaksiapan menghadapi kejadian ini dengan alasan tidak ada standar internasional mengenai pembatasan zat EG DEG.
“Sejumlah dokumen yang kami miliki justru menunjukkan fakta sebaliknya. Hal ini merupakan salah satu yang kami utarakan dalam gugatan class action. Pemerintah, melalui BPOM, telah memiliki kebijakan dan sistem yang menjamin proses pembuatan obat di Industri farmasi telah dilakukan dengan baik, dan sistem pengamanan terhadap masuknya zat berbahaya dalam industri farmasi juga telah dilakukan sedemikian rupa, sehingga sistem pengamanan ini harusnya berjalan dengan maksimal. Seharusnya sistem ini sejak awal mampu mencegah, mengingat kasus yang sama sudah terjadi sejak puluhan tahun sebelum di Indonesia,” papar Awan Puryadi, anggota Tim lainnya.





