samudrafakta.com

Ketika Membunuh Bayi Menjadi ‘Solusi Ekonomi’ Seorang Dokter

APA yang paling menakutkan dari tuntutan ekonomi yang kian rewel? Mungkin jawabannya adalah keputusasaan. Ketika harapan seolah tak pernah terjawab. Ketika doa-doa sepertinya mubazir. Ketika nalar manusia hanya sanggup berjalan beberapa jengkal. Ketika manusia hilang manusianya. Drama tragis Miyuki Ishikawa, seorang dokter yang hidup di Jepang kala negaranya asyik berjibaku dalam Perang Dunia II, sepertinya menjelaskan fenomena itu.

 

 

Miyuki adalah dokter sekaligus perawat yang hidup di antara harapan-harapan yang berkecamuk dalam keputus-asaan. Namun, dia tidak larut di dalamnya. Dia mengambil inisiatif ‘anti-mainstream’. Dia tak melihat krisis itu sebagai akhir dari harapan ekonominya. Tapi, justru di situlah dia melihat harapan.

Harapan yang sebenarnya tak masuk akal.

Dengan ’semangat menolong dan meringankan beban sesama’, Miyuki membantai setidaknya 103 anak yang baru saja beberapa detik tangisnya menyapa dunia. Dia melakukannya ‘penuh dedikasi’. Tragedi itu terjadi di tahun 1940-an, ketika Pemerintah Dai Nippon giat-giatnya bertempur, menomor-sekiankan urusan domestik. Ekonomi dalam negeri kocar-kacir ketika Sang Kaisar takluk pada syahwatnya berburu kekuasaan.

Baca Juga :   Mengenang Benteng Ekonomi Sukarno: Yang Kokoh, Namun Dilupakan Kini

Ishikawa adalah direktur Rumah Sakit Bersalin Kobuki, Tokyo, Jepang. Dia alumnus pendidikan Kedokteran Universitas Tokyo. Suaminya juga seorang dokter, bernama Takeshi Ishikawa. Sepanjang pernikahan, pasangan ini tak dikaruniai seorang anak pun.

Di rumah sakitnya, Ishikawa mengemban tugas rangkap, sebagai dokter dan suster sekaligus. Ketika itu di Jepang belum ada pendidikan khusus untuk perawat, sehingga rumah sakitnya kekurangan tenaga medis.

Kala itu Jepang diamuk resesi ekonomi edan-edanan akibat ambisi Sang Kaisar. Pemerintahan militer Dai Nippon gencar beragresi militer mencari sumber-sumber minyak, termasuk ke Indonesia. Mereka asyik berburu, sementara kebutuhan rumah tangga tak diacuhkan.

Perekonomian domestik kacau balau. Devisa nasional hanya untuk mencukupi kebutuhan perang. Keluarga miskin menjamur. Pria-pria yang tak ikut berangkat tempur mengisi daftar panjang pengangguran Negeri Sakura, yang deretnya semakin dan semakin panjang selama masa perang.

Di tengah amuk resesi itulah bayi-bayi nahas lahir ke dunia. Tingkat kelahiran saat itu tak terkendali. Mungkin, ’produksi anak’ adalah satu-satunya hiburan warga Jepang di masa tersebut. Teknologi dan gaya hidup Jepang tentu belum secanggih kini.

Baca Juga :   Awas, Kebiasaan Multitasking Bisa Menjadikanmu Anti-Sosial

Manusia-manusia baru bermunculan dari rahim ibu-ibu miskin. RS Bersalin Kobuki yang dinahkodai Ishikawa kebanjiran pasien beranak. Sebagian besar ibu-ibu putus asa yang tak mampu beli susu.

Sebelum melahirkan, ibu-ibu itu mengeluh, apa yang terjadi dengan anaknya nanti di tengah kecamuk ekonomi? Mereka benar-benar tak bisa memandang masa depan. Kabur. Buram. Setiap ibu yang hendak melahirkan selalu dan selalu mengeluhkan masalah elementer tersebut pada Direktur RS. Miyuki Ishikawa mendengarkannya penuh perhatian dan rasa simpati layaknya seorang dokter mendengarkan keluhan pasien.

Nah, dalam situasi inilah dia menawarkan jasa; bersedia membantu ibu-ibu itu ’lepas dari tanggungan berat jangka panjang’. Dia buka penawaran yang ’solutif’ itu; sebaiknya bayi-bayi langsung dihabisi begitu lahir. Gila. Tapi, di tengah situasi resesi seperti itu, ketika kebutuhan ekonomi kian jadi beban dan makin mengejar, kehadiran seorang bayi adalah mimpi buruk. Mereka seperti gulma pengganggu. Agar hidup tak sumpek-sumpek amat, beban harus dikurangi. Ditariklah kesimpulan; bayi-bayi itu harus ditiadakan. Dibunuh. Dan Miyuki Ishikawa bersedia melakukannya.

Baca Juga :   Yang Harus Dihindari dan Dilakukan ketika Terjadi Gempa

Resesi membuat manusia-manusia tak mampu berpikir.

Artikel Terkait

Leave a Comment