samudrafakta.com

Fakta-Fakta Penculikan 97/98 (2): Mulanya ABRI Menyangkal, Terbongkar oleh Desakan Publik

Foto Le Journal International tentang pemecatan Letjen Prabowo Subianto dari ABRI pada 24 Agustus 1998. Wiranto yang kala itu menjadi Panglima ABRI melepas tanda kepangkatan di pundak Prabowo sebagai simbol pemberhentian dari dinas kemiliteran.(Le Journal)
Penghilangan paksa aktivis 97/98 tak bisa dilepaskan dari konteks politik dan keamanan yang berkembang saat itu.  Angkatan Bersenjata Republik Indonesia atau ABRI awalnya menyangkal terlibat penculikan. Namun, fakta-fakta yang berkembang dan pengakuan para korban selamat membuat mereka tak bisa menyangkal.

Sejarah negara ini merekam bahwa sejak tahun 1996 kondisi politik nasional sangat tidak baik-baik saja—dan mencapai puncak eskalasi pada tahun 1998. Mobilisasi politik mahasiswa dan rakyat yang menentang Orde Baru berlangsung marak dan terus meluas. Mereka menuntut reformasi di segala lini.

Pemerintah bukannya membuka ruang dialog, tetapi meresponsnya dengan tindakan represif. Kekuatan aparat dimanfaatkan sepenuhnya untuk keperluan ini. Pemerintah berdalih, mereka mengambil ‘tindakan tegas’ demi mengamankan proses politik pemilihan Kepala Negara Indonesia periode 1998-2003.

Ada dua agenda yang dijalankan terkait hajatan tersebut, yakni Pemilu 1997 dan Sidang Umum MPR 1 – 11 Maret 1998. Karena itulah negara perlu ‘diamankan dengan cara apa pun’, termasuk dengan ‘cara-cara tegas’.

Mugiyanto, salah satu korban penculikan yang selamat—yang pernah menjadi Ketua Ikatan Keluarga Korban Hilang atau Ikohi hingga tahun 2014—mencatat ada tiga momen politik yang melatarbelakangi penghilangan paksa tersebut.

Baca Juga :   Diumumkan sebagai Cawapres Prabowo, Gibran Tidak Menampakkan Diri

Pertama, penghilangan pada masa kampanye Pemilu 1997. Mereka yang hilang di masa ini adalah Yani Afri, Sony, Dedi Hamdun, Ismail, dan Noval Alkatiri.

Kedua, periode pra-Sidang Umum MPR 1998. Korban yang hilang di masa ini adalah Suyat, Petrus Bima Anugrah, Herman Hendrawan, dan Wiji Thukul. Kesembilan aktivis yang dikembalikan dalam keadaan hidup juga diculik di masa-masa ini.

Ketiga, periode pasca-Sidang Umum MPR 1998, termasuk di dalamnya peristiwa kerusuhan 13-15 Mei 1998. Korban hilang di masa ini adalah Ucok Munandar Siahaan, Yadin Mahidin, Abdun Nasser, dan Hendra Hambali.[1]

Dari seluruh upaya penghilangan paksa tersebut, hanya sembilan orang yang dikembalikan. Tiga belas lainnya tidak pernah kembali hingga saat ini.

Ketika aksi penculikan mulai dijalankan pada April 1997, Panglima ABRI (Pangab) saat itu dijabat Jenderal Faisal Tanjung. Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) dijabat Jenderal R. Hartono. Sementara Letnan Jenderal (Letjen) Wiranto menjabat sebagai Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) periode 1996-1997.

Sedangkan Prabowo Subianto, ketika peristiwa penculikan tahap pertama berlangsung, menjabat Komandan Jenderal (Danjen) Kopassus. Dia menjabat pada periode 4 Desember 1995 – 28 Maret 1998.

Baca Juga :   Makan Siang Politik: Kunci Diplomasi dan Negosiasi yang Biasanya Tidak Gratis

Letjen Wiranto selanjutnya mendapatkan promosi bintang empat dan menggantikan Jenderal R. Hartono sebagai KSAD. Dia menjabat hingga 16 Februari 1998, sebelum akhirnya diangkat menjadi Pangab, menggantikan Faisal Tanjung. Posisi Wiranto sebagai KSAD digantikan Subagyo H.S., yang sebelumnya menjabat merupakan Wakil KSAD.

Sementara Mayjen Prabowo mendapat promosi bintang tiga dan diangkat menjadi Pangkostrad, menggantikan pejabat sebelumnya, Letjen Sugiono. Dia menjabat selama dua bulan. Pada 25 Mei 1998, Prabowo dimutasi menjadi Komandan Sesko (Dansesko) ABRI.

Artikel Terkait

Leave a Comment