Pemanfaatan tembakau, baik untuk konsumsi pribadi maupun misi diplomasi, memiliki catatan sejarah yang sangat panjang di Nusantara ini. Berbagai macam kitab klasik mencatatnya dengan rapi.
Negara Kertagama dan Pararaton—yang bertanda masa sebelum tahun 1000 Masehi—mencatat bahwa masyarakat sudah mengonsumsi tembakau sejak zaman kitab-kitab tersebut disusun. Namun, khalayak waktu itu memanfaatkan tembakau sebagai pelengkap untuk mengunyah sirih.
Salah satu relief di Candi Borobudur (abad ke-8) dan Candi Sojiwan (abad ke-9) mencatat adanya tradisi nyirih, nyereh, nginang, atau nyusur masyarakat Nusantara. Relief itu memperlihatkan tempat sirih dan wadah dubang serta bentuk orang mengunyah, yang oleh para arkeolog ditafsirkan sebagai mengunyah sirih. Pada masa itu tembakau memang pelengkap, komplemen, atau substitusi dalam tradisi nyirih.

Sedangkan kebiasaan mengonsumsi tembakau dalam bentuk rokok tercatat dalam kitab-kitab Nusantara klasik yang bertanda tahun di atas tahun 1000 Masehi. Dalam kakawin Smaradahana, karya sastra Jawa Kuno yang menceritakan kisah terbakarnya Batara Kamajaya—ditulis oleh Empu Darmaja, yang juga terkenal dengan karyanya Cerita Panji, hidup pada zaman Raja Kediri, Kameswara (1190-1200)—merokok disebut dengan “mangudud”; “… saksat guguh makêmilan mangudud kapundung (… tampak orang tua tak bergigi dengan kantong pipi menonjol mengisap dengan nikmat semangat).” Ditemukan juga kata “ududan” yang bermakna bahan-bahan untuk rokok dalam naskah cerita Sri Tanjung (1671): “…wong anglampit saududan… (…orang membawa gulungan untuk bahan udud)”.
Babad Tanah Jawa mencatat, merokok mulai digemari orang Jawa saat Panembahan Senapati wafat. Menurut sejarawan De Graaf, Sultan Agung di Mataram Islam adalah perokok kelas wahid. Sedangkan potret tentang khalayak luas yang telah menyukai rokok terlihat dalam folklore dan lakon ketoprak Rara Mendut-Pranacitra. Rara Mendut–Pranacitra merupakan narasi lokal perihal kisah cinta ala Romeo-Juliet di Italia ini mengambil konteks di masa pemerintahan Sultan Amangkurat I—putra Sultan Agung. Dalam folklore itu diceritakan bahwa rokok telah jadi barang dagangan sehari-hari.





