samudrafakta.com

Banyak Versi tentang Asal-Usul, Bukti Jika Wali Songo adalah Fakta

Sejarah terkait asal-usul Wali Songo punya banyak versi. Ada yang menyebut dari Arab, ada yang bilang dari China, ada juga teori yang mengklaim bahwa mereka adalah utusan Kerajaan Turki Utsmani. Kendati masih menjadi kontroversi, namun adanya bermacam-macam sudut pandang tentang Wali Songo tersebut justru menegaskan bahwa mereka adalah fakta sejarah yang tak bisa dibantah.  

Ada banyak teori yang membahas masuknya Islam di Nusantara. Cendekiawan Muslim Prof. Dr. Azyumardi Azra, M.A. menyebut teori-teori itu seperti “mata air”. Artinya, Islam di Nusantara bisa bersumber dari berbagai tempat, seperti sumber-sumber mata air yang datang dari mana-mana. “Memang, semua ada indikasinya. Kita tak bisa mengklaim Islam hanya dari Gujarat. (Yang berasal) dari Mesir ada. Irak, Tiongkok, juga ada,” katanya.

Terkait banyaknya narasi mengenai Islamisasi Nusantara—terutama tentang klaim siapa yang membawa Islam ke negeri ini—menurut Prof. Azra, itu semua tak lepas dari kepentingan kontestasi ideologi. Maksudnya, banyak pihak yang membawa teori masing-masing, mengklaim bahwa teori mereka paling benar, dengan tujuan mendoktrinkan ideologi mereka melalui narasi sejarah.

Setidaknya ada empat teori yang dihubungkan dengan proses Islamisasi dan perkembangan Islam di Indonesia, yaitu: Islam dibawa dari India; dibawa langsung oleh orang Arab; dibawa oleh orang Persia; dan dibawa oleh China.

Baca Juga :   Nanas Madu Ada karena “Naturalisasi” yang Tak Disengaja

Teori India

Teori yang menyatakan Islam berasal dari India—terutama dari wilayah Gujarat, Malabar, Coromandel, Bengal—muncul karena adanya kesamaan antara Islam di Nusantara dengan Islam di India. Persamaan-persamaan itu bisa dilihat dari, antara lain, sama-sama bermazhab Syafi’i; tipikal batu nisannya sama; serta ditemukan beberapa kemiripan dalam tradisi dan arsitektur India dan Nusantara.

Teori ini dicetuskan oleh G.W.J. Drewes, lalu dikembangkan oleh Snouck Hugronje, J. Pijnapel, W.F. Sutterheim, J.P. Moquette, hingga Sucipto Wirjosuparto. Teori ini menceritakan bahwa kaum saudagar Gujarat datang melalui Selat Malaka pada abad ke-13, lalu menjalin kontak dengan penduduk bagian barat Nusantara. Momentum inilah yang—menurut teori tersebut—kemudian melahirkan Kesultanan Samudra Pasai sebagai Kerajaan Islam pertama di Nusantara.

Sementara itu, menurut J. Pijnapel, seorang sarjana Belanda dari Universitas Leiden pada abad ke-19, yang membawa Islam ke Indonesia adalah pedagang dari Gujarat yang telah diislamkan oleh orang-orang Arab bermahzab Syafi’i yang bermukim di Gujarat dan Malabar sejak awal Hijriah—atau abad ke-7 M. Pedagang Gujarat yang telah memeluk Islam Mazhab Syafi’ i itu kemudian berdagang ke dunia timur, termasuk Nusantara, lalu menyebarkan Islam di sana.

Baca Juga :   Lelakon Oppenheimer: Ketika Ilmu Pengetahuan Harus Tunduk di Bawah Kaki Kekuasaan

Pendapat Pijnapel diamini dan disebarluaskan oleh orientalis terkemuka Belanda, Snouck Hurgronje. Menurut Snouck, dalam Revue de l’histoire des Religions (1894), Islam lebih dulu berkembang di kota-kota pelabuhan anak benua India—termasuk Gujarat. Snouck berpendapat bahwa orang-orang Gujarat lebih dulu membuka hubungan dagang dengan Indonesia dibanding pedagang Arab.

Kedatangan orang Arab ke Nusantara, kata Snouck, terjadi pada masa-masa setelah orang Gujarat datang duluan. Orang-orang Arab yang datang belakangan itu, menurut Snouck, mayoritas merupakan keturunan Nabi Muhammad Saw. yang menggunakan gelar “Sayyid” atau “Syarif ”.

Setelah Snouck Hurgronje, pada tahun 1912, giliran J.P. Moquetta memberikan afirmasi terhadap Teori Gujarat. Dia mengemukakan bukti berupa batu nisan Sultan Malik as-Saleh, penguasa Pasai yang wafat pada tanggal 17 Zulhijah 831 H atau 1297 M. Menurut Moquetta, batu nisan di Pasai itu sama dengan nisan pada makam Maulana Malik Ibrahim—ayah Sunan Ampel—yang wafat tahun 1419 di Gresik, Jawa Timur. Dan nisan-nisan tersebut, menurut Moquetta, memiliki bentuk yang sama dengan nisan yang ada di Kambay, Gujarat. Moquetta pun menyimpulkan batu nisan tersebut diimpor dari Gujarat—setidaknya dibuat oleh orang Gujarat atau orang Indonesia yang telah belajar kaligrafi khas Gujarat.

Baca Juga :   Makam Belanda Peneleh Surabaya, Nasibmu Kini...

Alasan lainnya adalah adanya kesamaan mahzab, yaitu Mazhab Syafi’i, yang sama-sama dianut oleh Muslim di Gujarat dan Indonesia. Pendapat Moquetta mendapat dukungan dari sarjana lain, seperti Kern, Winstedt, Bousquet, Vlekke, Gonda, Schrieke, dan Hall. Mereka sependapat bahwa Islam di Nusantara datang dari Gujarat—tetapi tentu saja dengan beberapa tambahan.

Kendati mendapat banyak dukungan, Teori Gujarat tak lepas dari kritik. Argumentasi Moquette ditentang oleh S.Q. Fatimi. Fatimi berpendapat, mengaitkan seluruh batu nisan di Pasai, seperti nisan di makam Maulana Malik as-Saleh, dengan Gujarat adalah keliru. Menurut Fatimi, dalam penelitiannya berjudul Islam Comes to Malaysia (2009), bentuk dan gaya batu nisan Malik as-Saleh berbeda dengan batu nisan di Gujarat maupun batu-batu nisan lain yang ditemukan di Nusantara. Fatimi berpendapat, bentuk dan gaya batu nisan itu justru mirip dengan yang terdapat di Bengal.

Artikel Terkait

Leave a Comment