Sementara itu, masih dalam seminar yang sama, Prof. Dr. Subiyakto dari Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat (Balittas) Malang memaparkan bahwa potensi tembakau dan limbahnya ternyata cukup beragam, namun belum tergarap dengan optimal. “Tembakau dapat menjadi bahan pestisida, minyak atsiri, farmasi, bahkan parfum,” ungkapnya. Namun demikian, proses menjadikan tembakau sebagai produk non-rokok masih terkendala teknologi pemrosesannya yang masih mahal.
Rekan Dr. Subiyakto, pakar teknologi nano dari Universitas Brawijaya, Prof. Dr. Sutiman B. Sumitro, mengemukakan bahwa tembakau juga bisa dimanfaatkan untuk balur dan scrab herbal—yaitu inovasi dari asap rokok—yang bermanfaat untuk mengurangi luka dan meningkatkan kesehatan. Dengan teknologi konversi, kata Dr. Sutiman, asap rokok yang beracun karena mengandung radikal bebas diubah menjadi asap yang mengandung nanostruktur yang kompleks.
Nah, banyak sekali manfaat tembakau, bukan? Dan manfaat itu juga sudah teruji secara ilmiah-klinis. Maka dari itu, sudah saatnya wacana tentang manfaat “gulma paling berdaulat dan berharga yang pernah ditawarkan bumi untuk digunakan oleh manusia”—meminjam istilah ahli botani di abad ke-15 dan 16—kembali dikampanyekan. Semua orang berhak mendapatkan manfaat positif dari tembakau, bukan malah ditakut-takuti dengan dampak negatifnya akibat ada yang salah mengolah tembakau.
