samudrafakta.com

Sunan Gunung Jati (2): Perawat Tradisi Halalbihalal

Sementara itu, berdasarkan penelusuran sejarawan Ahmad Baso, Sunan Gunung Jati adalah penjaga tradisi halalbihalal. Hal tersebut sebagaimana dicatat dalam Sajarah Jawa (Kodeks IOL Jav 10) berikut ini:

Semana alabuh pateng Ki Samsu ngeli samodra, nutobak paran paranai ing Carebon kawarnaha, Sunan Makedum sira, mring Seh Alul Iman guru wus dangu genpatakenan. Seh Alul Iman minta sing[g]ah aneda halal bahalal, anak mas Cirebon mongke ing Kali Sampu [Kali Sapu di Cirebon] halalna (Kala berlabuh dari atas perahu bersama Ki Samsu [pemilik perahu yang mengantarkan Kangjeng Sunan Gunung Jati], mengarungi laut, ombaknya landai, tidak keras, menuju Cirebon. Diceritakan Syekh Ahlul Iman atau Syekh Nurjati Cirebon sang guru yang sudah lama dinantikan ingin bertemu dan bertanya padanya. Syekh Ahlul Iman meminta Kangjeng Sunan Gunung Jati singgah di tempatnya, untuk berhalalbihalal dengannya. Maka sang guru pun berujar: “Wahai, putra Mas Cirebon yang berdiam di kali Sapu [basis pesantren awal Sunan Gunung Jati], aku halalkan kamu).”

Baca Juga :   Syekh Siti Jenar (3): Dianggap Kafir karena Berbeda Pandangan

Sementara itu, manuskrip berjudul Sejarah Sagung ing Para Ratu yang tersimpan di British Library, dengan kode MSS Jav 10 di bagian pustaka digital berkategori Javanese, menyebutkan bahwa istilah halalbihalal ternyata juga ditemukan dalam sumber primer yang lebih tua. Dalam naskah kuno ini terdapat simbolisasi angka tahun dalam budaya Jawa berupa “nir panembah ing pandita aji”, yang jika diartikan dalam angka merujuk pada tahun Jawa 1720, dan jika dikonversi dalam tahun Masehi menjadi 1793-1794 M.

Di dalam naskah kuno ini disebutkan istilah “halalbihalal” adalah peristiwa yang melibatkan salah satu Wali Songo, yaitu Pangeran Gunung Jati atau Sunan Gunung Jati, dengan dengan gurunya, yaitu Syekh Nurjati di Cirebon.

Selain sumber primer naskah kuno Sagung ing Para Ratu, juga terdapat sumber primer lain yang berasal dari abad yang sama, yaitu naskah beraksara Jawa pegon berjudul Babad Cirebon dari Banten-Cirebon kode naskah CS 114 PNRI (Perpustakaan Nasional Republik Indonesia). Pada halaman 73 naskah tersebut, Sultan Maulana Hasanuddin Banten menyebut “halal ba halal”.

Baca Juga :   Riwayat Hubungan Harmonis Antara Nabi Muhammad dengan Kaum Nasrani Ini Perlu Diteladani

Dengan demikian terbukti sudah seremoni halalbihalal, yang dulu disebut “halal ba halal”, telah dilakukan sejak zaman Wali Songo. Di dalam naskah Babad Cirebon tersebut tertulis bahwa, “Wong Japara sami hormat sadaya umek Desa Japara kasuled polah ing masjid kaum sami ajawa tangan (berjabat tangan) sami anglampah Halal Bahalal sami rawuh amarek dateng Pangeran Karang Kamuning.”

Pangeran Ibrahim Karang Kamuning adalah tokoh yang berbasis di Jepara, bergelar Pandita Atas Angin atau Sunan Atas Angin. Dia adalah menantu Sunan Ampel, yang menikah dengan Nyai Gede Panyuran, salah seorang putri Sang Sunan. Maka, berdasar sumber primer tersebut, bisa disimpulkan bahwa pertama kali tradisi halalbihalall digelar di Kota Jepara.

Halalbihalal merupakan ijtihad jenius guru Sunan Gunung Jati, Sunan Ampel. Seremoni ini merupakan tradisi khas umat Islam Nusantara, digali dari tradisi gotong-royong yang sebelumnya tidak dikenal di negeri Arab.

Praktik halalbihalal yang dirawat oleh Sunan Gunung Jati ini memiliki tujuan khusus. Intinya adalah untuk saling memaafkan ketika Lebaran atau sesudahnya, dan itu dilakukan secara kolektif karena dosa sosial-kolektif umat manusia perlu dimaafkan.

Baca Juga :   Pangeran Katandur, Cucu Sunan Kudus yang Merintis Tanaman Tembakau dan Karapan Sapi di Madura

Maaf-memaafkan adalah ajaran Islam. Oleh para wali, ajaran itu dimaksimalkan dengan menggali akar budaya kolektivitas masyarakat Nusantara, bukan nafsi-nafsi, demi menciptakan suasana kehidupan sosial yang rukun dan guyub. [—bersambung]

(Wijdan | Diolah dari Berbagai Sumber)

Artikel Terkait

Leave a Comment