samudrafakta.com

Sunan Gunung Jati (2): Perawat Tradisi Halalbihalal

Selama masa pemerintahan Syarif Hidayatullah, Cirebon mengalami zaman keemasan. Wilayah kekuasaan Kesultanan Cirebon kala itu meliputi seluruh Jawa Barat, Jakarta, dan Banten. Dalam menjalankan roda pemerintahannya, Sunan Gunung Jati mengutamakan langkah yang bermanfaat dan menghindari yang mudarat. Kepentingan umum dan rakyat kecil selalu didahulukan dibandingkan kepentingan pribadi dan keluarganya.

Sunan Gunung Jati juga selalu menjunjung tinggi nilai–nilai keadilan dan universalisme di dalam masyarakat. Kedamaian dan ketenteraman rakyat selalu mendapatkan prioritas utama dalam masa pemerintahannya.

Berdasarkan penututan Sultan Sepuh XIV P.R.A. Arief Natadiningrat, ada beberapa nilai penting yang dijalankan oleh Sunan Gunung Jati ketika memerintah sebagai seorang raja maupun seorang ulama. Pertama, menjalin silaturahmi. Model silaturahmi yang dilakukan Sunan Gunung Jati adalah dengan mempererat perkawinan antarsuku.

Kedua, memberdayakan rakyat dengan mengajarkan keterampilan membuat kerajinan untuk meningkatkan ekonomi rakyat. Sunan Gunung Jati juga melakukan pemberdayaan di bidang kepemimpinan, dengan tujuan agar setiap pemimpin di masyarakat bisa mengurus rakyatnya dengan penuh kasih sayang, harus bisa mengendalikan rakyatnya, serta mengerti keinginan mereka.

Baca Juga :   Republik Indonesia Sedetik Pun Tak Pernah Dijajah!

Ketiga, Sunan Gunung Jati selalu berdakwah langsung ke masyarakat lapisan bawah. Dengan cara itu, dia bisa memahami karakter masyarakat yang dikunjunginya, sekaligus berperan sebagai problem solver. Keempat, Sunan Gunung Jati mengubah aturan bulu bekti (pajak) menjadi atur bekti (zakat, infak, atau sedekah). Kebijakan Sang Wali untuk menghentikan pengiriman garam dan terasi sebagai upeti ke Pajajaran juga diterapkan di Cirebon.

Di masa pemerintahan Sunan Gunung jati, Cirebon tidak dikenai wajib pajak. Para kuwu dan gegeden yang berada di bawah perlindungan Kerajaan Cirebon dengan sukarela memberikan hasil panen atau hasil tangkapan ikannya kepada negara setahun sekali, tanpa ditentukan jumlahnya.

Kelima, Sunan Gunung Jati menerapkan penegakan hukum yang memenuhi rasa keadilan dan menimbulkan efek jera bagi pelakunya tanpa pandang bulu.

Keenam, menjaga stabilitas keamanan nasional dan regional. Pada masa kepemimpinan Sunan Gunung Jati, Cirebon memiliki sistem keamanan berlapis-lapis untuk mengantisipasi serangan dari luar. Dia mengangkat Fatahillah sebagai panglima perang sekaligus menantu, yang ditugaskan mengusir penjajah Portugis dari Sunda Kelapa. Setelah berhasil, nama Sunda Kelapa diubah menjadi Jayakarta—yang kemudian berganti menjadi Jakarta, kini Ibu Kota Indonesia.

Baca Juga :   Lelakon Oppenheimer: Ketika Ilmu Pengetahuan Harus Tunduk di Bawah Kaki Kekuasaan

Cucu Prabu Siliwangi ini juga mengembangkan dakwah Islam dengan metode akulturasi budaya. Metode itu terbukti efektif membuka hidayah umat menuju keimanan dan memeluk Islam secara sukarela dan damai. “Sunan Gunung Jati menyebarkan Islam tidak menggunakan budaya Arab, tetapi menggunakan adat dan budaya lokal melalui kesenian daerah. Hasilnya, Sunan Gunung Jati mampu mengislamkan Jawa Barat, Banten, dan DKI Jakarta secara damai, tanpa ada pe perangan,” kata P.R.A. Arief Natadiningrat.

Artikel Terkait

Leave a Comment