samudrafakta.com

Prihatin Demokrasi yang Dinilai Tak Beretika, Alumni dan Sivitas Akademika UIN Jakarta Sampaikan Pernyataan Sikap soal Pemilu 2024

JAKARTA–Menyusul Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, alumni dan Sivitas Akademika Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Ciputat juga menyampaikan pernyataan sikap soal perkembangan penyelenggaraan Pemilu 2024, dengan mendorong pemerintah agar menciptakan demokrasi yang beradab dan beretika.

Berikut ini pernyataan sikap dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, sebagaimana diterima Samudra Fakta:

Menimbang dan melihat perkembangan penyelenggaraan Pemilu dan Pilpres 2024, dan umumnya pengelolaan pemerintahan serta demokrasi yang dan beretika, maka kami alumni dan serta civitas academica UIN Syarif Hidayatullah, Ciputat, menyatakan sikap sebagai berikut :

  1. Mendesak penyelenggara Pemilu, baik KPU, Bawaslu, DKPP agar bekerja secara profesional dan bertanggung jawab. Penyelenggara Pemilu dengan sungguh-sungguh memegang prinsip independen, transparan, adil, dan jujur. Menjauhkan diri dari kecenderungan berpihak, mengutamakan kepentingan politik orang per orang, kelompok, partai dan sebagainya. Serta kuat dalam menghadapi kemungkinan intervensi dari pihak mana pun. Berani menegakkan aturan dan memastikan semua pelanggaran pemilu diselesaikan dengan semestinya sesuai aturan. Bahkan jika itu dilakukan oleh pihak yang paling berkuasa di Indonesia.
  2. Mendesak Presiden dan aparat negara untuk bersikap netral dan menjadi pengayom bagi seluruh konstentan Pemilu. Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan wajib bersikap netral dan memfasilitasi seluruh aktivitas Pemilu berdasar prinsip keadilan. Sikap ini lebih dari sekadar tidak menggunakan fasilitas negara. Netral dalam hal ini bukan saja tidak mengutarakan pilihan politiknya, tapi juga seluruh sikap dan laku diri sebagai presiden. Terutama tidak membuat kebijakan yang berdampak menguntungkan secara elektoral bagi paslon tertentu.
  3. Mendesak Presiden agar dengan sungguh‐sungguh mengelola pemerintahan untuk kepentingan nasional. Bukan demi kepentingan sekelompok dengan mengatasnamakan kepentingan nasional. Aktivitas Presiden yang akhir-akhir ini terlihat seperti lebih condong mengutamakan kepentingan elektoral salah satu paslon bukanlah sikap seorang Presiden sebagai negarawan. Situasi ini bukan saja dapat berdampak pada pelayanan pemerintah secara nasional, tapi juga menimbulkan ketidaksolidan dan ketidaknyamanan anggota kabinet. Jika situasinya terus seperti ini dikhawatirkan bisa menimbulkan instabilitas nasional. Padahal, berulangkali Presiden mengingatkan agar kita semua bergembira dalam menghadapi penyelenggaran Pemilu/Pilpres 2024 ini. Tapi hari demi hari yang diterima adalah kepiluan dalam pelaksanaan Pemilu/Pilpres dan pengelolaan keadaban demokrasi kita.
  4. Pengelolaan keadaban/akhlak demokrasi ini sudah semestinya tidak dipandang sekadar seperangkat aturan tertulis. Aturan tentang boleh tidak boleh. Lebih dari itu, keadaban/akhlak demokrasi juga berhubungan erat dengan baik/manfaat atau tidak baik/mudharat baĝi kepentingan masyarakat. Sejak putusan MK atas uji materi Nomor 90/2023 ditetapkan, keadaban/akhlak demokrasi kita terus menerus merosot. Presiden sebagai kepala negara berkewajiban untuk menjaga dan menjadi contoh bagaimana keadaban/akhlak berdemokrasi itu menjadi laku kehidupan bernegara.
  5. Mendesak Kepolisian RI untuk bersikap independen dan profesional. Tidak menjadi alat negara yang dapat menimbulkan rasa takut dalam mengekspresikan sikap politik warga negara. Tidak mudah melakukan pemidanaan atas sikap kritis masyarakat, seperti yang menimpa saudara Aiman Witjaksono, Palti Hutabarat, dan kini Butet Kertaradjasa. Polri adalah alat negara untuk menegakkan hukum dan ketertiban. Bukan alat Presiden. Maka dan oleh karena itu, sudah seharusnya bekerja untuk kepentingan bangsa dan negara. Bukan untuk kepentingan pemerintah atau pihak-pihak tertentu.
Baca Juga :   Dua Pernyataan Menteri Agama Disinyalir Berbau Politik dan Mengundang Kritik

Pernyataan sikap tersebut ditandatangani oleh beberapa aktivis alumni UIN, seperti Ray Rangkuti, Nong Darol Mahmada, dan salah satu Guru Besar Ilmu Politik UIN Jakarta, Prof. Saiful Mujani. Sementara itu, berdasarkan nama-nama yang menandatangani pernyataan sikap tersebut, tidak ditemukan para guru besar yang masih menjabat dalam struktur rektorat.

Sebelumnya, Saiful Mujani dalam acara wawancara khusus di kanal YouTube Mata Najwa, Jumat, 20 Oktober 2023, pernah menyampaikan kritiknya tentang politik dinasti. Menurutnya, hal itu tak akan terjadi apabila ada kontrol yang dilakukan, terutama oleh Presiden Joko Widodo. Saiful menambahkan, Jokowi bisa mencegah munculnya politik dinasti jika memang peduli terhadap demokrasi.

“Seharusnya, normalnya kalau dia (Jokowi) konsen dengan ini (demokrasi), ‘Tunggu papa pensiun jadi Presiden, silakan nanti Anda maju’,” kata pendiri Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) itu.

Jika itu dilakukan, kata Saiful, yang terjadi justru pendidikan dan penciptaan budaya politik yang sangat baik untuk demokrasi Indonesia. “Tapi mungkin itu harapan kita yang terlalu tinggi terhadap seorang Pak Jokowi. Terhadap seorang Gibran, Kaesang, itu terlalu tinggi harapan kita,” tandasnya.❍

Baca Juga :   Prabowo dan ‘Love-Hate Relationship’  dengan Gus Dur: Dari Tukang Pijit, Hinaan, hingga Sebutan Paling Ikhlas

Artikel Terkait

Leave a Comment