Kejaksaan Agung mengembalikan berkas perkara pagar laut di perairan Desa Kohod oleh Kejaksaan Agung kepada Bareskrim Polri. Pengamat menilai tindakan Kejagung itu tepat, karena Polri dinilai melokalisir tindak pidana dalam perkara tersebut.
__________
“Langkah Kejaksaan ini tepat, karena pasal pasal yang digunakan oleh Polri di dalam kasus pagar laut ini mereduksi tindak pidana yang terjadi, seakan-akan melokalisir,” kata Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Zaenur Rohman, Jumat, 4 April 2025.
Dalam pandangan Zaenur, ada dua masalah dalam kasus pagar laut ini. Pertama, penggunaan pasal yang sangat sempit dan tidak tepat. Kedua, aktor atau pelaku yang dijerat merupakan level terbawah, yakni Kepala Desa dan Sekretaris Desa Kohod.
Zaenur pun menyayangkan sikap Mabes Polri yang hanya menjerat Kepala Desa dan Sekretaris Desa, dengan sangkaan melakukan pidana pemalsuan. Seharusnya, kata Zaenur, Mabes Polri itu menangani kasus dengan aktor-kelas kakap. Untuk sekelas Kepala Desa cukup ditangani oleh Polres bahkan Polsek.
Zaenur juga menyayangkan sikap Mabes Polri yang menurutnya hanya menjerat tersangka dengan pasal pemalsuan, yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP. Padahal, kata dia, peristiwa yang terjadi di pagar laut itu adalah pemalsuan yang berujung penerbitan sertifikat hak milik (SHM), sertifikat hak guna bangunan (SHGB), dan izin pemanfaatan ruang.
Semua itu merugikan keuangan negara, kata Zaenur. Sebab, dengan terbitnya SHM, SHGB, Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (PKKPR) pada wilayah laut yang notabenenya adalah milik publik jadi dimiliki oleh swasta dengan cara melawan hukum, sehingga negara kehilangan luasan laut.
Selain itu, kasus pagar laut juga berdampak terhadap ekosistem dan perekonomian masyarakat. Nelayan jadi susah melaut. Lingkungan tercemar dan rusak. Semua itu menimbulkan kerugian perekonomian masyarakat, tak hanya kerugian negara.
Maka dari itu, menurut Zaenur, tersangka harusnya juga dijerat dengan pasal tindak pidana korupsi. Pemalsuan adalah modus korupsinya.
Karena itu, kata Zaenur, penyidik harus membongkar konstruksi perkaranya. Membongkar penggunaan pasal-pasal yang digunakan untuk menjerat pelaku, sehingga kejahatan yang lebih serius dapat terungkap, ketimbang sekadar pemalsuan dokumennya.
Kata Zaenur, pihak yang menerbitkan SHM, SHGB, pejabat di bidang agraria/pertanahan, pihak yang meminta penerbitan sertifikat, pengusaha yang melakukan pemagaran—yang kemudian mendapatkan ratusan sertifikat—sosok di balik semua kejadian, aktor intelektual, termasuk pemodalnya, semuanya harus juga dijerat secara pidana.***





