Belakangan banyak terungkap kasus pemerasan oleh anggota polisi. Menurut kacamata pengamat hukum, perilaku ini sudah menjadi penyakit kronis. Yang diperas pun bukan cuma warga sipil, tetapi juga sesama anggota polisi.
Peristiwa pemerasan terbaru terjadi di Semarang, Jawa Tengah, di mana dua anggota Polrestabes Semarang memalak sepasang muda-mudi sebesar Rp2,5 juta.
Sebelumnya, pada akhir Januari 2025, mencuat kasus pemerasan yang melibatkan bekas Kasat Reskrim Polres Jaksel, AKBP Bintoro. Dia diduga memeras keluarga tersangka pembunuhan hingga miliaran rupiah.
Sementara itu, akhir tahun lalu, belasan polisi jajaran Polda Metro Jaya kedapatan memeras warga negara asing penonton konser Djakarta Warehouse Project (DWP) 2024. Pemerasan ini terjadi pada 13-15 Desember 2024 lalu.

“Pemerasan itu penyakit kronis di kepolisian. Tidak hanya terjadi eksternal. Internal saja, kabarnya, naik pangkat dan jabatan ada tarifnya,” kata pakar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar, ketika mengkritik fenomena pemerasan oleh polisi, Senin, 27 Januari 2025.
Menurut Fickar, fenomena pemerasan ini terjadi karena ada kekeliruan personel dalam memahami kurikulum pendidikan kepolisian. Mereka memandang tugas sebagai polisi adalah ‘berbisnis’—padahal seharusnya mengabdi dan melayani masyarakat.
Dengan cara berpikir itu pula oknum-oknum itu ‘membisniskan’ pendidikan dan jenjang kepangkatan di kepolisian. Sudah menjadi rahasia umum jika ada anggota Polri yang berhasil bergabung dalam institusi tersebut setelah membayar sejumlah uang.
‘Aturan’ serupa kabarnya juga berlaku untuk anggota yang naik pangkat: harus setor atasan.
“Oknum-oknum polisi yang terjebak melakukan kejahatan keliru memahaminya (tugas) sebagai urusan bisnis, sehingga langkahnya selalu mencari untung. Padahal sudah dibayar gajinya oleh rakyat melakui pajak,” kata dia.
Sementara itu, dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia Febby Mutiara Nelson menilai, kasus pemerasan oleh polisi semestinya diproses di peradilan umum, karena jelas-jelas sarat tindakan pelanggaran pidana.
“Tapi seringkali, karena pengawasan terhadap (perilaku menyimpang) ini sepertinya kurang, kadang kala ada yang hanya berhenti di sidang etik saja,” kata Febby, Ahad, 12 Januari 2025.
Menurut dia, ada dua penyebab tidak terlaksananya penindakan pidana dalam kasus yang menjerat anggota polisi, termasuk pemerasan. Pertama, kurangnya pelaporan resmi dari korban dan, kedua, lemahnya dorongan penegakan hukum dari internal kepolisian.
Kata Febby, dalam beberapa situasi, penindakan etik dipilih sebagai cara yang digunakan untuk menjaga nama baik institusi.
Pendekatan ini dinilai rentan kritik. Pasalnya, tanpa diproses pidana, kesan yang muncul adalah ada impunitas atau perlakuan khusus bagi anggota kepolisian yang perilakunya bertentangan dengan prinsip keadilan dan kesetaraan di muka hukum.***





