samudrafakta.com

NU dan Genealogi Diskursus Politik Kekuasaan

Setidaknya, ada tiga kali Muktamar NU yang mengamanatkan kembali ke Khitthah, yaitu Muktamar ke-26 di Semarang tahun 1979, Muktamar ke-27 di Situbondo tahun 1984, dan Muktamar ke-28 di Krapyak tahun 1989. Semuanya menyuarakan kembali ke Khitthah 1926, dalam artian tidak ikut dalam pengerahan masa untuk politik praktis (kekuasaan), tapi politik keummatan dan kebangsaan.

Dalam anggaran dasar 1926 NU menetapkan visi-misinya untuk mengembangkan Islam berlandaskan ahlusunnah waljamaah. Tujuan itu diusahakan dengan:

(1) Memperkuat persatuan di antara sesama ulama penganut ajaran empat mazhab.

(2) Meneliti kitab-kitab yang akan dipergunakan untuk mengajar agar sesuai dengan ajaran Ahlussunah wal Jama’ah.

(3) Menyebarkan ajaran Islam yang sesuai dengan ajaran empat mazhab.

(4) Memperbanyak jumlah lembaga pendidikan Islam dan memperbaiki organisasinya.

(5) Membantu pembangunan masjid, surau dan pondok pesantren serta membantu kehidupan anak yatim dan orang miskin.

(6) Mendirikan badan-badan untuk meningkatkan perekonomian anggota.

Dari enam langkah di atas tidak satupun yang mengindikasikan adanya nuansa politik dalam pergerakan NU. Namun visi keagamaan yang digeluti NU sarat dengan pesan-pesan yang berdimensi politik. Acuan utama yang digunakan NU, yaitu fiqih mazhab, yang cakupan masalahnya tidak hanya fiqih ibadah, tapi juga muamalah dan siyasah yang banyak menyinggung persoalan politik, seperti imamah, imaratul jays dan al-bughat, yang itu beririsan dengan politik. Hal ini pada akhirnya mempengaruhi sikap dan perilaku politik NU.

Baca Juga :   PBNU Nonaktifkan Erick Thohir sebagai Ketua Lakpesdam Melalui Surat Penonaktifan yang Direvisi

Artikel Terkait

Leave a Comment