samudrafakta.com

Mengingat Nenek Minah dan Hukum yang Tajam ke Bawah

Muhyani, peternak Serang yang diproses hukum karena membela diri bukanlah satu-satunya wong cilik yang harus berurusan dengan penegakan hukum formil yang ‘tegas’ untuk masyarakat bawah. Masih ingat Nenek Minah yang diadili dan dihukum gegara memetik tiga buah kakao pada tahun 2009 lalu, kan? Kisah tersebut juga memvalidasi bahwa betapa tajam hukum ke bawah.

Kasus bermula ketika pada 2 Agustus 2009 Nenek Minah—ketika itu 55 tahun—memetik tiga buah kakao seberat 3 kilogram milik PT Rumpun Sari Antan (RSA) 4. Nenek dengan tujuh cucu yang tinggal di Ajibarang, Banyumas, Jawa Tengah itu memetik kakao untuk dijadikan bibit.

Minah, perempuan tua yang buta huruf itu, ditegur oleh mandor kebun PT RSA 4, bernama Sutarno. Mandor Sutarno memperingatkan Minah bahwa perusahaan telah memasang pengumuman di depan kebun, berisi peringatan agar warga tak memetik kakao milik korporasi. Setelah mendapatkan teguran, Minah menyerahkan kembali tiga buah kakao itu kepada Sutarno, sembari meminta maaf.

Ternyata perkara tak berhenti di situ. PT RSA 4 melaporkan perbuatan Minah ke polisi. Polisi dan Kejaksaan Purwokerto pun memproses laporan tersebut hingga ke pengadilan.

Baca Juga :   Kuatnya Putusan MK dan Pentingnya PK Terhadapnya

Minah mematuhi proses hukum terhadapnya. Untuk itu, dia harus lima kali pergi-pulang memenuhi panggilan pemeriksaan di Kejaksaan Negeri Purwokerto, plus persidangan di Pengadilan Negeri Purwokerto.

Rumah Minah berada di dusun pelosok bukit. Sekitar 15 kilometer dari jalan utama Ajibarang-Wangon. Perjalanan ke Purwokerto masih menempuh jarak sejauh 25 kilometer lagi dari jalan utama tersebut.

Jarak sepanjang itulah yang harus ditempuh Minah setiap memenuhi panggilan Kejari dan PN Purwokerto. Untuk satu kali perjalanan ke Purwokerto, dia mengaku bisa menghabiskan Rp50.000 untuk naik ojek dan angkutan umum. Ditambah untuk makan selama di perjalanan.

Artikel Terkait

Leave a Comment