samudrafakta.com

Mengenang Pram, Mengingat Cara Mendidik Penguasa

Pada 6 Februari 1925, Pramoedya Ananta Toer—yang kerap disapa Pram, Sastrawan legendaris Indonesia—lahir di Bumi Samin, Blora, Jawa Tengah. Dikenal sebagai penulis atau sastrawan Indonesia yang aktif dan berani dalam menyuarakan kritik beragam topik melalui karya tulisannya.

Pram adalah tokoh besar juga tokoh unik dalam jagat sastra Indonesia. Kehadirannya dipenuhi berbagai sikap dan kontroversi. Selain ada yang memujinya setinggi langit, ada yang mencaci-makinya. Ada yang mendendam, ada pula yang menganggapnya sebagai pahlawan.

Namanya melambung tinggi usai karyanya banyak dibaca orang, seperti Bumi Manusia (1980), Anak Semua Bangsa (1980), Jejak Langkah (1985), Rumah Kaca (1988), Nyanyi Sunyi Seorang Bisu I (1995), Nyanyi Sunyi Seorang Bisu II (1996), Arus Balik (1995), Arok Dedes (1999), Larasati (2000), Cerita dari Blora, Perburuan, Korupsi, Keluarga Gerilya, dan Panggil Aku Kartini Saja.

Pram merekontruksi sejarah melalui novel. Ciri khasnya adalah tidak mendekati sejarah melaui pendekatan monumental, tetapi cenderung pada pendekatan antikurian dan pendekatan kritis. Semua itu untuk kepentingan masa depan tanah airnya dan manusia.

Baca Juga :   Hari Kebangkitan Nasional dan Gugatan-Gugatan Terhadapnya

Pram setia mengkritik pemimpin bangsa—khususnya setelah Sukarno—dan mengoreksi mereka. Bagi Pram, selain Sukarno, tak ada lagi pemimpin bangsa yang mampu menahkodai Indonesia ke arah cita-cita sebuah bangsa besar.

Pram berpendapat, tiap pemimpin sesudah Sukarno tak menunjukkan pemahaman soal wawasan keindonesiaan yang mempuni dalam jiwa. Ketika Soeharto menggantikan Sukarno, Pram menggambarkan Presiden ke-2 Indonesia tu sebagai sosok yang hanya mengandalkan intuisi dan obsesi dengan kekuasaan. Karena itu, menurut Pram, hasilnya cuma kekayaan pribadi yang melimpah ruah. Sementara Indonesia kehilangan kebanggaan nasionalismenya. Tidak ada prestatasi yang memuaskan.

Soeharto, kata Pram, justru menghancurkan semua yang sudah dibangun oleh Sukarno. Atas obsesi kekuasaan Soeharto, menurut Pram, generasi penerusnya harus membayar mahal segala sesuatu yang dirusak oleh perilaku korup zaman Orde Baru (Orba).

Artikel Terkait

Leave a Comment