samudrafakta.com

Mahfud MD vs. Everybody dan Senyum Tipis Presiden Jokowi

Ivan menjelaskan tentang beda angka Rp3,3 triliun yang disebut Sri Mulyani dengan Rp35 triliun yang disebut Mahfud. Menurut Ivan, PPATK memang mencatatkan angka Rp35 triliun, di mana angkat itu didapat dari transaksi oknum—termasuk perusahaan-perusahaan yang diduga sebagai perusahaan cangkang dari oknum tersebut. Menurut Ivan, kedua hal itu tidak bisa dipisahkan, karena diduga kuat terkait modus pencucian uang.

“Jadi, kenapa tadi di klaster pertama kami menyampaikan transaksi keuangan mencurigakan yang terkait dengan oknum. Tetapi, di dalam daftar list-nya secara lengkap, di dalam suratnya itu, selain oknum, kami sampaikan juga banyak perusahaan. Jadi, misalnya, dalam satu surat itu ada oknumnya satu, tetapi perusahaannya ada 5, ada 7, dan 8 segala macam,” ucap Ivan.

Kepala PPATK Ivan Yustianvandana dan Menko Polhukam Mahfud MD ketika rapat dengan Komisi III DPR RI, Rabu, 29 Maret 2023. (Dok.)

Nah ini yang kemudian pada saat rapat kemarin oleh Kementerian Keuangan dikeluarkan sehingga angka Rp35 triliun yang ditemukan oleh PPATK, dan setelah dikeluarkan entitas perusahaannya, menjadi Rp22 triliun. Lalu dikeluarkan lagi entitas perusahaan yang tidak ada Kementerian Keuangannya, lalu dikeluarkan lagi dari entitas perusahaan yang ada Kementerian Keuangannya, menjadi Rp3,3 triliun. Lalu kemudian ramai bahwa PPATK salah dan segala macam,” imbuhnya.

Baca Juga :   Mahfud Pastikan Bakal Bongkar Transaksi Rp300 T di Depan Parlemen

Ivan menduga perusahaan cangkang ini merupakan modus yang lazim dalam TPPU. Biasanya oknum akan menggunakan tangan orang lain untuk menutupi kejahatannya. “Kenapa PPATK memberikan data oknum plus nama perusahaannya, karena kami menemukan perusahaan-perusahaan itu adalah perusahaan-perusahaan cangkang yang dimiliki oknum, sehingga ini enggak bisa dikeluarkan. Misalnya, dia menggunakan nama perusahaan dengan nama pemiliknya adalah, di aktanya, adalah istrinya, anaknya, sopirnya, tukang kebunnya, dan segala macam. Kalau ini dikeluarkan, jadilah Rp3,3 triliun,” kata Ivan.

“Tetapi, kami tidak lakukan itu, karena modus pelaku tindak pencucian uang itu adalah selalu… Ini kan kita bicara tindak pidana pencucian uang. Bicara proxy crime, di mana orang yang melakukan tindak pidana selalu menggunakan tangan orang lain, bukan diri dia sendiri. Sehingga, kalau kami keluarkan data itu, kami justru membohongi penyidiknya,” imbuh Ivan.

Dalam rapat dengan Komisi III DPR tersebut Mahfud sempat menjadi bulan-bulanan anggota Komisi III, terutama Arteria Dahlan dari F-PDIP, Beny K. Harman dari F-Demokrat, dan Asrul Sani dari F-PPP. Aneka tudingan mengarah pada Mahfud dalam rapat itu, mulai dari tudingan membocorkan rahasia negara hingga adanya kecurigaan dia sengaja ingin menyingkrikan Sri Mulyani.

Baca Juga :   Ini Daftar Menteri yang Dikabarkan Bakal Mundur Menurut Faisal Basri

Menjawab tudingan-tudingan tersebut, Mahfud hanya menyatakan bahwa dia melakukan itu karena dipicu oleh sikap Presiden Joko Widodo yang mempertanyakan mengenai turunnya indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia.

“Sebulan lalu, ketika ada acara Satu Abad NU di Sidoarjo, saya diajak pulang bersama oleh Presiden, satu pesawat di Surabaya. Karena apa? Membahas IPK,” kata Mahfud dalam rapat dengan Komisi III DPR RI. “Presiden pada waktu itu agak marah, kenapa IPK kita turun dari 38 menjadi 34?” sebut dia.

Setelah itu, Mahfud mengaku langsung mengumpulkan berbagai lembaga, termasuk Transparency International Indonesia (TII) untuk mendeteksi apa penyebab IPK mengalami penurunan. Dan menurut dia, penyebab utamanya adalah korupsi di bea cukai dan pajak.

“Itulah sebabnya, sejak itu saya lalu (berpikir) ini pajak dan bea cukai masalah,” ucap dia. Maka dari itu, Mahfud kaget ketika tahu bahwa harta kekayaan mantan pegawai Direktorat Jenderal Pajak Rafael Alun Trisambodo tak wajar, mencapai Rp56,1 miliar. Ditambah lagi PPATK menemukan transaksi janggal senilai Rp500 miliar.

Baca Juga :   Pernah Di-Endorse Jokowi, Mahfud MD Resmi Cawapres Ganjar

Setelah itu Mahfud meminta rekap data lengkap di Direktorat Jenderal Pajak dan Bea Cukai Kemenkeu pada PPATK. Maka, ditemukanlah kejanggalan transaksi senilai Rp349 triliun itu. “Dari situ saya minta rekap. Inilah rekap yang saya sampaikan tadi, saudara, data ini clear, valid,” imbuh dia.

Artikel Terkait

Leave a Comment