samudrafakta.com

KH. Achmad Syuhada: Kombatan Perang Jawa yang Merawat Semangat Cinta Tanah Air

Pesantren Majma'al Bahrain Hubbul Wathon Minal Iman Shiddiqiyyah, di Desa Losari, Kecamatan Ploso, Jombang, Jawa Timur. (Dok. SF)

Hingga akhirnya, pada tahun 1829, Kiai Mojo, yang oleh sejarah dicatat sebagai guru sekaligus penasihat Pangeran Diponegoro, ditangkap. Setelah itu, menyusul Pangeran Mangkubumi dan panglima utamanya, Raden Ali Basa Abdoel Moesthofa Sentot Prawirodirjo, menyerah kepada Belanda.

Puncaknya, pada 28 Maret 1830 Jenderal De Kock berhasil menjepit pasukan Diponegoro di Magelang, Jawa Tengah. Setelah itu, Belanda menjalankan siasat licik.

Pada bulan Syawal 1830, Pangeran Diponegoro diundang Belanda. Katanya hendak diajak berunding secara damai di Magelang. Diponegoro pun datang dengan iktikad baik untuk berunding.

Namun, bukannya berunding, ternyata dia malah ditangkap, lalu diasingkan ke Manado. Selanjutnya Diponegoro dipindahkan ke Makassar, Sulawesi Selatan, hingga meninggal dunia di Benteng Rotterdam pada 8 Januari 1855.

Pasca-penangkapan Pangeran Diponegoro, sisa-sisa pasukannya yang gigih mengubah taktik perjuangan mereka demimempertahankan tanah air dan muruah agama: dari angkat senjata, menjadi syiar agama.

Menurut M. Ashif Fuadi dalam Menelusuri Jejak Laskar Diponegoro di Pesantren: Kajian Historis Genealogis Pesantren Tegalsari, Banjarsari, dan Takeran dengan Perang Diponegoro 1825-1830, perubahan taktik itu merupakan transmisi atau perubahan model perjuangan anti-penjajahan. Artinya, meski caranya berubah, semangatnya tetap sama: anti-penjajahan.

Baca Juga :   Kriteria Penerima Rumah Syukur Ditentukan secara Detail agar Program Tepat Sasaran

Para ulama yang sebelumnya menjadi perwira tinggi dalam kesatuan tempur Diponegoro berdiaspora atau menyebar ke desa-desa di wilayah yang pada masa itu disebut “mancanegara Timur”—wilayah yang mencakup Kedu, Magelang, hingga Jawa Timur. Di daerah pelarian, mereka membuka lahan baru dan berdakwah. Sebagian besar mengganti identitasnya untuk menghindari intelijen Belanda yang terus memantau pergerakan sisa-sisa laskar Diponegoro.

Di tempat barunya, para ulama-kombatan ini mendirikan masjid atau merintis pondok pesantren untuk mengajarkan agama kepada penduduk lokal. Salah satu tokoh jejaring Diponegoro yang menempuh langkah ini adalah Kiai Achmad Syuhada.

Dia hijrah ke Jawa Timur bersama saudara-saudaranya. Awalnya mereka menuju Desa Semen, Kecamatan Terung, Kabupaten Sidoarjo, dan tinggal sementara di situ. Achmad Syuhada bersama kakak lelakinya, Mujjarot; kakak perempuannya, Amudah; serta dua adiknya, Abdulloh dan Hasan Rozak alias Kasan Rejo.

Setelah tinggal sebentar di Semen, lima bersaudara ini berpencar ke tempat berbeda-beda. Amudah ke Trosobo, Sidoarjo; Mujjarot ke Desa Ngepoh, Sidoarjo; Hasan Rozak atau Kasan Rejo ke Desa Mejoyo, Kecamatan Gudo, Jombang; sementara Achmad Syuhada dan Abdulloh menuju Desa Losari, Ploso, Jombang.

Baca Juga :   Lailatul Mubarakah dan Lailatul Qadar: Dua Momentum Penuh Berkah Khas Tarekat Shiddiqiyyah di Bulan Ramadhan

Artikel Terkait

2 comments

KH. Abdul Mu’thi: Pengusaha Bertangan Dingin, Aktivis, dan Guru Ngaji Sukarno Kecil – samudrafakta.com 13 Oktober 2023 at 12:33

[…] KH. Achmad Syuhada: Kombatan Perang Jawa yang Merawat… […]

Reply
KH. Mochammad Muchtar Mu’thi (1): Hakul Yakin NKRI, Penjaga Semangat Cinta Tanah Air – samudrafakta.com 17 Oktober 2023 at 23:06

[…] KH. Achmad Syuhada: Kombatan Perang Jawa yang Merawat… […]

Reply

Leave a Comment