SURABAYA | SAMUDRA FAKTA—Kasus dugaan pemerkosaan yang melibatkan MSAT alias Mas Bechi, putra Kiai di Jombang, menempuh jalan yang sangat panjang. Mas Bechi dilaporkan dan ditetapkan sebagai tersangka pada November 2019, kasus sempat mengambang selama tahun 2020 – 2021, dua kali kalah praperadilan pada November 2021 dan Januari 2022, hingga akhirnya dijemput paksa Polda Jawa Timur pada 7 Juli 2022. Saat ini, sidang perkara tersebut memasuki masa-masa akhir menjelang putusan.
Tim Penasihat Hukum (PH) dan keluarga Mas Bechi masih yakin bahwa Mas Bechi tidak bersalah. Menurut mereka, Mas Bechi merupakan korban fitnah. Untuk membuktikan keyakinan itu, mereka giat melakukan pembelaan di ruang publik.
Menurut Rio Ramabaskara, anggota tim PH Mas Bechi yang menangani kasus ini sejak praperadilan kedua, penetapan status tersangka Mas Bechi sudah bermasalah sejak awal. “Jika kita melihat mekanisme hukum formal, idealnya, ketika seseorang dilaporkan atas dugaan tindak pidana, yang pertama kali dilakukan penyelidik setelah memeriksa pelapor dan saksi-saksi adalah memanggil dan memeriksa terlapor untuk diklarifikasi. Tetapi, dalam kasus Mas Bechi, tidak ada panggilan untuk Mas Bechi sebagai terlapor. Tidak ada berita acara klarifikasi tentang laporan tersebut,” Rio mengilas balik awal perjalanan kasus ini, Rabu (26/10/2022).
Mas Bechi, menurut Rio, tahu dirinya dilaporkan justru setelah ditetapkan sebagai tersangka. Sedangkan untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka, “Dunia hukum kita memerlukan dua alat bukti yang cukup,” jelas Rio. Dalam kasus ini, yang dijadikan alat bukti adalah keterangan saksi korban dan surat visum. Akan tetapi, menurut Rio, bukti-bukti itu tidak cukup. “Yang mengaku sebagai korban, MNK, melaporkan peristiwa yang menimpanya dua tahun sejak kejadian, yang menurutnya terjadi pada tahun 2017. Jaraknya terlalu jauh, itu pun kalau peristiwa tersebut benar-benar ada,” kata Rio.
Rio juga menilai surat visum bermasalah. “Visum yang diajukan sebagai alat bukti bukan visum yang diambil saat hari kejadian—atau setidaknya diambil tak jauh waktunya dari kejadian. Kejadiannya, kata MNK, tahun 2017, tetapi baru dilaporkan pada akhir tahun 2019, sedangkan visum yang diajukan sebagai bukti dibuat pada tahun 2018. Visum muncul sebelum MNK melapor ke polisi,” jelas Rio.
Proses penanganan kasus ini dirasa semakin janggal ketika berkas kasus Mas Bechi bolak-balik hingga enam kali dari penyidik ke kejaksaan. Total enam kali berkas balik dari Kejati ke Polda Jatim sepanjang tahun 2020 – 2021. Tiga kali dinyatakan P-19, sementara tiga kali lainnya diberi judul “koordinasi” antara Polda dan Kejati, bukan P-19. Istilahnya sengaja diganti. Sebab, menurut Peraturan Bersama Ketua Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia, Menteri Hukum dan HAM, Jaksa Agung Republik Indonesia, dan Kepala Kepolisian Negara Kesatuan Republik Indonesia No. 099/KMA/SKB/V/2010 No. KEP-059/A/JA/05/2010 No. B/14/V/2010 tentang Sinkronisasi Ketatalaksanaan Sistem Peradilan Pidana dalam Mewujudkan Penegak Hukum yang Berkeadilan No. 8: “Apabila berkas perkara sudah 3 (tiga) kali diajukan oleh pihak penyidik dan dikembalikan oleh Penuntut Umum, maka perkara dinyatakan tidak layak atau tidak dapat dilanjutkan.”
Karena proses penanganan kasus ini dinilai janggal sejak awal oleh Mas Bechi, dia menolak dilimpahkan ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jatim ketika berkasnya dinyatakan P-21—setelah kalah praperadilan kedua. Polda Jatim pun memasukkan Mas Bechi dalam daftar pencarian orang (DPO) sejak Januari 2022.
Selama Mas Bechi ditetapkan sebagai DPO, seluruh unsur warga Shiddiqiyyah gigih melakukan pembelaan terhadapnya—mulai dari Ponpes, Organisasi Shiddiqiyyah (Orshid), Organisasi Pemuda Shiddiqiyyah (Opshid), Persaudaraan Cinta Tanah Air (PCTA) Indonesia, hingga Dhilaal Berkat Rohmat Alloh (Dhibra). Mereka yakin dan mengklaim Mas Bechi tidak bersalah, dan kasus yang disangkakan kepadanya adalah rekayasa. Di sisi lain, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Aliansi Kota Santri Melawan Kekerasan Seksual dan Woman Crisis Center (WCC) Jombang, yang mengklaim mengadvokasi saksi korban, terus menyuarakan agar Mas Bechi segera ditangkap dan diadili. Suara LSM-LSM ini diamplifikasi melalui media massa dan media sosial, hingga mendapatkan dukungan dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Komisi Nasional Perempuan, dan Komisi Kepolisian Nasional.
Polres Jombang beberapa kali berupaya melakukan penangkapan terhadap Mas Bechi. Beberapa upaya itu diwarnai insiden kecil. Pada awal Juli 2022, sempat berlangsung negosiasi antara Polres Jombang dengan ayah Mas Bechi sekaligus Pemimpin Pondok Pesantren Majma’al Bahrain Hubbul Wathon Minal Iman Shiddiqiyyah, Losari, Ploso, Jombang, K.H. Mochammad Muchtar Mu’thi. Akan tetapi, negosiasi tersebut buntu.
Sebagaimana yang tersebar melalui banyak video di media sosial, ketika itu Kiai Muchtar mengatakan kepada Kapolres Jombang AKBP Muhammad Nurhidayat bahwa kasus yang ditudukan kepada Mas Bechi adalah masalah keluarga. Fitnah. Karena itu, Kiai Muchtar meminta agar semua personel kepolisian kembali ke tempat masing-masing. “Demi kejayaan Indonesia Raya,” kata Kiai Muchtar. Kapolres dan timnya mengiyakan dan keluar dari Pesantren tanpa membawa Mas Bechi. Namun, beberapa hari berselang, terjadilah penggerebekan Pesantren oleh Polda Jatim dan Polres Jombang pada 7 Juli 2022. Mas Bechi kemudian menyerahkan diri ke Polda Jatim pada Jumat, 8 Juli 2022 dinihari.
Begitu Mas Bechi menyerahkan diri, tak perlu menunggu lama, Polda Jatim hari itu juga langsung melimpahkan berkas Mas Bechi ke Kejati Jatim. Di hari itu juga kejaksaan melimpahkan Mas Bechi ke pengadilan. Proses dua tahap pelimpahan berlangsung sangat cepat—dan sepertinya baru kali itu terjadi. Mas Bechi ditahan di Rumah Tahanan (Rutan) Klas I Surabaya di Medaeng, Sidoarjo.
Kejari Jombang memindahkan persidangan Mas Bechi dari Pengadilan Negeri (PN) Jombang ke PN Surabaya dengan alasan keamanan. Menurut Kajari Jombang Tengku Firdaus—yang dikutip berbagai media—pemindahan ini untuk mengantisipasi terjadinya kerumunan massa di PN Jombang, mengingat pendukung Mas Bechi dari warga Shiddiqiyah di Jombang sangat banyak dan diprediksi akan datang untuk memberikan dukungan. Firdaus mengklaim bahwa pemindahan tersebut atas restu Mahkamah Agung (MA). Namun, Firdaus tak pernah menunjukkan direktori putusan atau fatwa MA tentang pemindahan tersebut. Sementara itu, menurut penelusuran tim Samudra Fakta, direktori pemindahan lokasi sidang itu tidak bisa ditemukan dalam direktori putusan MA yang bisa diakses secara terbuka oleh publik.
Sidang kasus Mas Bechi dimulai pada 18 Juli 2022—10 hari sejak dia menyerahkan diri. Sidang diputuskan berlangsung tertutup. Di masa-masa menjelang sidang, kabar tentang jumlah korban Mas Bechi mengalami ‘fluktuasi’. Kapolda Jatim waktu itu, Irjen Nico Afinta, menyebutkan korban Mas Bechi ada lima orang santriwati. Sementara itu, sebuah media nasional memberitakan bahwa korban Mas Bechi mencapai 15 orang—di mana media tersebut mengutip sumber yang tidak disebutkan namanya. Akan tetapi, Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Jatim Mia Amiati yang memimpin Tim JPU, menyebutkan hanya ada satu saksi korban dalam dakwaan JPU. Satu saksi korban inilah yang menjadi fakta persidangan.





