samudrafakta.com

Ijtihad Bukan Hanya Hak ‘Orang-Orang Tertentu’, Siapa Saja Berhak Melakukannya

Ilustrasi. Berijtihad atau terus bergerak mencari kebenaran adalah hak semua orang, terutama umat Islam. Bukan hanya 'hak' golongan tertentu. FOTO: Canva
JAKARTA—Pemahaman umum yang diyakini oleh sebagian besar umat Muslim saat ini adalah ijtihad merupakan ‘hak khusus’ untuk orang-orang tertentu. Tidak semua orang—termasuk orang Islam ‘biasa—boleh melakukannya. Benarkah?

Faktanya, ada beberapa ulama yang berpendapat bahwa pintu ijtihad dianggap sudah tertutup. Masyarakat hanya dicukupkan untuk ‘bertaklid buta’—menurut tanpa syarat terhadap orang-orang khusus yang dianggap punya ‘hak’ untuk berijtihad. Celakanya, banyak umat yang taklid pada pendapat ini.

Terkait pemahaman seperti itu, cendekiawan muslim Mun’im Sirry, dalam buku Sejarah Fiqih Islam: Sebuah Pengantar (1995), menyebutnya sebagai “fase keterpakuan tekstual”. Dampaknya, hukum Islam atau fikih pun benar-benar menjadi ekslusif, hanya dicukupkan pada satu pendapat. Pada puncaknya yang paling ekstrem, pemahaman seperti ini berimplikasi pada usaha membenarkan pendapat yang diikuti, sembari menyalahkan pendapat lain yang dianggap tidak sejalan.

Fenomena ini tidak wajar. Sebab, menurut Mun’im Sirry, yang tidak bisa dihilangkan dari fikih adalah budaya ikhtilaf. Pasalnya, Nabi Muhammad Saw. sudah memberikan wejangan, “Ikhtilafu ummati rahmatun,” yang artinya, “perbedaan pendapat di antara umatku adalah rahmat”.

Baca Juga :   Suami Memeluk, Mencium, dan Mencumbu Istri saat Puasa Ramadhan, Memang Boleh?

Jika lebih diringkas lagi, ajaran inti risalah Nabi Muhammad adalah kedaulatan, independensi, objektivitas, kebijaksanaan, kejujuran, dan kasih sayang serta persaudaran sejati. Bukan orientasi kekuasaan duniawi dan menerapkan prinsip “kebenaran hanya pada kelompokku”, atau, “kebenaran tidak ada di luar kelompokku”.

Lantas, kenapa semua itu bisa terjadi? Menurut banyak ilmuwan Islam yang mengedepankan berpikir kritis, semua itu dipicu oleh kondisi sosial-politik yang membuat beberapa kalangan menyandingkan fikih terlalu dekat dengan kepentingan, baik pribadi maupun kolektif.

Jabatan mufti pada masa lalu dipegang oleh orang yang justru kadangkala membelokkan tujuan fatwa. Sebagian besar mengincar jabatan kadi (qadhi) yang mencari perantara lewat fikih itu sendiri. Mereka tidak punya keahlian ilmiah yang memadai dan hanya mencukupkan diri menghafal hukum dan preseden mazhab terdahulu yang menjadi pegangan di peradilan.

Mereka hanya mengikuti apa yang ditetap oleh ulama sebelumnya tanpa melakukan pergelutan ilmiah. Terdistorsinya realita sedemikian rupa dan kompleks memantik para fukaha—atau ahli fikih—untuk mengeluarkan seruan pintu ijtihad telah tertutup.

Baca Juga :   Manunggaling Kawula-Gusti

Faktor lain yang cukup punya kekuatan untuk membuat umat Muslim ke ‘zona taklid’ adalah kekaguman berlebihan terhadap para ulama sebelumnya. Perlu dipertegas bahwa tidak ada larangan bagi siapa pun untuk kagum terhadap kecemerlangan yang dicapai pada masa lalu. Namun, ketika kekaguman membawa dampak negatif, menjadikan umat yang lahir belakangan merasa inferior dan tidak ada gairah untuk berpikir, maka saat itulah muncul masalah.

Guru Besar Ilmu Tasawuf dan Psikoterapi UIN Sunan Gunung Jati Bandung, almarhum Prof. Muhammad Nursamad Kamba, dalam bukunya Kids Zaman Now Menemukan Kembali Islam (2018), menuliskan bahwa para pemangku kepentingan otoritas keagamaan tidak mendorong aktivitas ijtihad karena, ”Kebodohan umat adalah berkat dan keberuntungan bagi ulama dan pemimpin politiknya,” katanya. Petikan tersebut disadur dari puisi Jamaah Gua Hira karya Abdul Hadi W.M. (1985).

Artikel Terkait

Leave a Comment