Dari Siwalan Panji ke Buduran: Jejak Ulama Besar dan Lahirnya Pesantren Al-Khoziny

Ponpes Al Khoziny. - NU Online
Pesantren Al-Khoziny Buduran lahir dari rahim keilmuan besar Siwalan Panji—tempat para pendiri NU dan ulama Nusantara menimba ilmu sejak abad ke-18.

Di Sidoarjo, Jawa Timur, terdapat sebuah kawasan yang sejak lama dikenal sebagai tanah kelahiran ulama dan pusat ilmu keislaman: Siwalan Panji, Buduran. 

Dari kampung ini, lahir sederet nama besar yang kemudian mewarnai perjalanan bangsa—mulai dari pendiri Nahdlatul Ulama KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Wahab Chasbullah, hingga KH. R. As’ad Syamsul Arifin dari Situbondo, Mbah Hamid Abdulloh dari Pasuruan, KH. Nachrowi Thohir dari Bungkuk, KH. Moch. Khozin, dan banyak lagi.

Pusat keilmuan itu berawal dari Pondok Pesantren Al-Hamdaniyah Siwalan Panji, yang didirikan pada 1787 oleh ulama besar asal Pasuruan, Kiai Hamdani. Seusai wafatnya, kepemimpinan pesantren diteruskan oleh dua putranya, Kiai Abdurrohim dan Kiai Ya’qub, yang kemudian melahirkan generasi ulama pembaru di Jawa Timur.

Dari Santri Jadi Pendiri Pesantren Baru

Salah satu santri Al-Hamdaniyah yang kemudian menjadi tokoh penting adalah Kiai Moch. Khozin Khoiruddin. Ia dikenal tekun, alim, dan kelak menjadi menantu Kiai Abdurrohim, menikah dengan putrinya, Siti Maimunah. Dari pernikahan ini lahir enam putra-putri: Afifah, Sholhah, Siti Zubaidah, Kiai Basuni, Muhsinah, dan Ruqoyyah. 

Bacaan Lainnya

Setelah itu, Kiai Khozin menikah lagi dengan Siti Fatimah, putri Kiai Ya’qub, dan dikaruniai seorang putra bernama Abbas.

Kiai Khozin kemudian mendirikan pesantrennya sendiri di wilayah Buduran pada tahun 1927 (versi lain menyebut 1926). Tujuannya sederhana: menyediakan tempat tinggal dan wadah dakwah bagi putranya, KH. Moch Abbas, yang baru pulang dari menuntut ilmu di Makkah. Namun, ternyata sambutan masyarakat yang luar biasa membuat pondok kecil itu berkembang menjadi lembaga besar yang dikenal hingga kini: Pondok Pesantren Al-Khoziny.

Awalnya, Kiai Khozin berencana menjadi pengasuh. Namun karena tanggung jawab di Al-Hamdaniyah masih besar, ia mempercayakan kepemimpinan pondok baru itu kepada putranya, KH. Moch Abbas. Nama “Al-Khoziny” dipilih sebagai bentuk penghormatan kepada sang pendiri, ulama yang mengabdikan hidupnya untuk ilmu dan keteladanan.

Warisan Keilmuan dan Lima Tarekat Al-Khoziny

KH. Moch. Khozin wafat pada 1955 Masehi. Salah satu amanat terakhirnya adalah agar setiap bulan Ramadan digelar khataman Tafsir Jalalain, tradisi yang terus dijaga hingga kini. Putranya, KH. Moch Abbas, mewarisi kesederhanaan sekaligus keteguhan sang ayah dalam menjaga adab dan ilmu.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *