samudrafakta.com

Transformasi Makna “Bajingan”: Asalnya Bermakna Mulia, Bermuara pada Umpatan

Masih tentang diksi “bajingan” yang ramai setelah terlontar dari mulut akademisi dan pengamat politik Rocky Gerung. Meski Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ‘menahbiskan’ istilah itu dengan makna negatif, namun kata ini memiliki makna mendalam bagi para pengemudi gerobak sapi—yang juga disebut sais—di Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Bajingan mereka maknai sebagai “orang yang meski sering bepergian namun tak pernah meninggalkan kewajibannya beribadah”.

Sebagaimana dimuat dalam artikel sebelumnya, dalam khazanah budaya Jawa, sebenarnya istilah “bajingan” sama sekali tidak identik dengan makna negatif. Salah seorang sais gerobak sapi, Sriyanto (48), sebagaimana dikutip dari detik.com pada 23 Februari 2022  menampik jika “bajingan” diasosiasikan dengan makna negatif.

“Bajingan itu bagusing jiwo angen-angen ning Pengeran. Jadi, Pengeran itu seneng arepo sopir gerobak bajingan ning watake apik. Eling karo pangeran eling karo sembahyang. Artinya bagus, walaupun sering bepergian, tetap berperilaku baik dan tidak meninggalkan kewajiban sembahyang (beribadah),” papar Sriyono di Pedukuhan Jodog, Bantul, dikutip dari Detik.com.

Sriyono bahkan meyakini jika sebutan “bajingan” merupakan filosofi dari salah satu Wali Songo, Sunan Bonang. Sebutan ini sudah muncul sejak lama.

Baca Juga :   Mengapa Etnis Rohingya Dibenci di Myanmar?

Sesepuh bajingan atau sais gerobak sapi dari Pedukuhan Karangasem, Kelurahan Gilangharjo, Kapanewon Pandak, Bantul Prapto Prayitno (85), mengonfirmasi bahwa istilah “bajingan” sudah muncul sejak lama. Menurutnya, bajingan sebagai pengemudi pedati sapi ini ada untuk menandingi begal yang suka merampas barang para di jalan—yang mana para begal itu juga disebut bajingan.

“Yang namanya sopir gerobak, kalau tidak jadi bajingan, nanti tidak bisa melawan bajingan yang suka membegal di jalan itu,” ucapnya.

“Bajingan di jalan (begal) itu sukanya hanya membegal dan merampas apa-apa. Kalau sopir gerobak tidak berani nandingi mereka, sama saja tidak jadi bajingan,” lanjut Prapto.

Menurut akar historis istilahnya, bajingan adalah profesi yang umum bagi masyarakat Jawa dan eksis sejak era kekuasaan Mataram Islam di Indonesia pada abad ke-16. Profesi ini memegang erat kekerabatan dan kerukunan yang diwadahi oleh paguyuban penarik gerobak sapi atau bajingan.

Bajingan merupakan warisan kearifan lokal yang sudah ada sejak zaman dulu. Menurut berbagai sumber sejarah, sapi adalah hewan yang paling disukai kerajaan Mataram, dan gerobak sapi berawal dari Kerajaan Mataram yang telah menganut ajaran Islam. Bajingan menarik hasil panen yang dihasilkan oleh masyarakat Mataram—meliputi wilayah Yogyakarta dan eks-Karesidenan Surakarta.

Baca Juga :   Makan Siang Politik: Kunci Diplomasi dan Negosiasi yang Biasanya Tidak Gratis

Pada era pemerintahan Hindia-Belanda, masyarakat pribumi tidak mampu naik transportasi mewah sebagaimana pejabat Eropa. Maka dari itu, mereka hanya bisa menunggangi bajingan untuk mobilitas sehari-hari. Itu pun bagi masyarakat pribumi dengan ekonomi menengah ke atas.

Pasca-kemerdekaan, bajingan berfungsi untuk mengangkut material, sebagaimana truk materialan di zaman sekarang. Pada 1975, tarif untuk mengangkut material dengan berkisar Rp150 sekali jalan. Komunitasnya bajingan materialan ini juga masih bertahan hingga hari ini.

“Pasca kemerdekaan hingga hari ini, masyarakat Bantul, Yogyakarta, masih melestarikan paguyuban para penarik gerobak sapi” tulis Dito Ardhi Firmansyah skripsinya yang berjudul Kontruksi Makna Kata Bajingan (Studi Etnografi Perubahan Makna Kata Bajingan dalam Komunitas Kusir Gerobak Sapi di Bantul Yogyakarta), yang dipublikasi pada tahun 2018.

Artikel Terkait

Leave a Comment