Tafsir Sembarangan dan Hilangnya Hak Terdakwa di Persidangan Kasus Mas Bechi

Pada 17 November 2022, pukul 17.11 WIB, Mochammad Subchi Azal Tsani alias Mas Bechi divonis Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya 7 tahun penjara, setelah menjalani sidang pembacaan putusan berdurasi 7 jam-an. Menurut hakim, Mas Bechi terbukti secara sah melakukan perbuatan menyerang kesusilaan sebagaimana jeratan Pasal 289 KUHP juncto Pasal 65 ayat (1) KUHP. Penulis akan “mengurai” satu per satu:

“Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.” Pasal 289 KUHP inilah yang menjadi dasar Majelis Hakim PN Surabaya untuk memvonis Mas Bechi.

Tindak pidana pasal ini diberi nama (kualifikasi) sebagai feitelijke aanranding van de eerbaarheid, yang diterjemahkan sebagai, “perbuatan melanggar kesopanan (engelbrecht), perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan (Tim Penerjemah BPHN), dan tindakan-tindakan melanggar kesusilaan,” (P.A.F. Lamintang dan C.S. Samosir). Istilah-istilah ini bersifat umum. Akan lebih menunjukkan karakteristik dari Pasal 289 KUHP jika tindak pidana di dalamnya disebut dengan menggunakan unsur-unsurnya, yaitu: dengan kekerasan memaksa perbuatan cabul.

Unsur-unsur tindak pidana Pasal 289 KUHP, terutama dengan memperhatikan terjemahan BPHN, yaitu: 1. Barang siapa; 2. dengan kekerasan atau ancaman kekerasan; 3. memaksa seorang; 4. untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.

Barang siapa. Barang siapa merupakan subjek atau pelaku tindak pidana. Mengenai subjek/pelaku tindak pidana ini ada perbedaan antara tindak pidana perkosaan (Pasal 285 KUHP) dan tindak pidana memaksa perbuatan cabul (Pasal 289 KUHP). Menurut Wirjono Prodjodikoro, “Perkosaan untuk bersetubuh hanya dapat dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap seorang perempuan, sedangkan perkosaan untuk cabul dapat juga dilakukan oleh seorang perempuan terhadap seorang laki-laki”. Jadi, jika perkosaan (285 KUHP) hanya dapat dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan, maka memaksa perbuatan cabul (289 KUHP) dapat dilakukan baik oleh laki-laki terhadap perempuan maupun oleh perempuan terhadap laki-laki. Malahan, memaksa perbuatan cabul dapat saja dilakukan antara mereka yang memiliki jenis kelamin yang sama, yaitu oleh laki-laki terhadap laki-laki dan oleh perempuan terhadap perempuan. Dengan catatan, jika perbuatan cabul dilakukan oleh seorang dewasa terhadap sesama jenis kelamin belum dewasa, maka pelaku yang telah dewasa itu dituntut berdasarkan Pasal 292 KUHP dengan ancaman pidana penjara paling lama 5 tahun.

Bacaan Lainnya

S.R. Sianturi menulis bahwa pencabulan dapat terjadi antara seorang pria dengan seorang wanita, antara sesama pria atau antara sesama wanita (lesbian). Karena itu, pelaku delik ini bisa seorang pria dan bisa juga seorang wanita. Pasal 289 KUHP tidak membatasi klasifikasi pelaku dan korban dalam perbuatan cabul. Pasal ini lebih responsif gender, sebab tidak memandang apakah perbuatan itu dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan maupun sebaliknya. Unsur “seseorang” yang dicantumkan dalam pasal ini berlaku untuk siapa saja.

Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. Mari kita bahas soal terma “kekerasan”. S.R. Sianturi menjelaskan bahwa kekerasan adalah, “Setiap perbuatan dengan menggunakan tenaga terhadap orang yang dapat mendatangkan kerugian bagi si terancam atau mengagetkan yang dikerasi”. Mengenai perluasan pengertian kekerasan, pasal 89 KUHP menentukan bahwa membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan.

Sebagaimana dikemukakan dalam kutipan tulisan S.R. Sianturi, dalam KUHP tidak diberikan definisi tentang apa yang dimaksudkan dengan istilah “kekerasan”. Dalam KUHP hanya ada perluasan terhadap istilah kekerasan, yaitu dalam pasal 89, di mana dikatakan bahwa membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan. Oleh karena dalam KUHP tidak diberi definisi tentang “kekerasan”, maka para ahli hukum memberikan pendapat mereka tentang istilah penggunaan kekerasan. S.R. Sianturi sendiri menyatakan bahwa “kekerasan” adalah perbuatan dengan menggunakan tenaga terhadap orang, yang dapat mendatangkan kerugian bagi si terancam atau mengagetkan yang dikerasi.

S.R. Sianturi menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “ancaman kekerasan” adalah membuat seseorang yang diancam itu ketakutan, karena ada sesuatu yang akan merugikan dirinya dengan kekerasan. Ancaman itu dapat berupa penembakan ke atas, menodongkan senjata, sampai dengan suatu tindakan yang lebih sopan, misalnya dengan seruan mengutarakan akibat-akibat yang merugikan jika tidak dilaksanakan. Contohnya, “Kalau kamu tidak datang, aku akan memukulmu”.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *