samudrafakta.com

Syekh Siti Jenar (3): Dianggap Kafir karena Berbeda Pandangan

Yang dipermasalahkan dari Syekh Siti Jenar sebenarnya bukan persoalan kemurtadan, kezindikan, atau kekafiran. Masalahnya sebenarnya klasik, yaitu karena perbedaan pendapat dalam memasyarakatkan pandangan-pandangan esoteris—yaitu suatu pandangan yang dapat dimengerti oleh sekelompok orang tertentu dan khusus, tetapi susah dipahami orang pada umumnya—dalam Islam.

Para ulama sejak zaman dahulu memang membatasi akses masyarakat terhadap pandangan-pandangan esoteris dalam beragama ini. Sebagian besar ulama sepakat bahwa ilmu seperti ini tidak boleh diajarkan secara sembarangan karena sulit dipahami oleh awam. Kendati sebenarnya pandangan esoteris mengandung kebenaran hakiki, namun dia bisa membuat tersesat orang awam yang belum siap menerimanya.

Banyak ulama dalam sejarah Islam, termasuk Al-Ghazali, cenderung mempertahankan pembagian masyarakat keilmuan ke dalam kelompok elite (khawash) dan awam. Syekh Siti Jenar menerabas batas-batas pembagian tersebut. Maka dari itulah, dia dianggap “membahayakan”—kendati sebenarnya dia sedang berupaya mengajarkan pengetahuan sejati.

Majelis Wali Songo pun sebenarnya memahami bahwa ajaran Syekh Siti Jenar tidak salah. Hanya saja, ajaran itu dinilai kurang tepat—atau “tidak pada tempatnya”. Hal ini ternyata dari vonis yang dibacakan oleh Sunan Giri terhadap Syekh Siti Jenar yang dicatat oleh beberapa historiografi: “Siti Jenar kafir di sisi manusia, dan mukmin di sisi Allah”.

Baca Juga :   Memahami Kapitayan Membuat Dakwah Wali Songo Berjalan Mulus

Wihdatul wujud sebagai sebuah faham tasawuf pada masa itu tentu saja sudah akrab bagi Wali Songo. Apalagi banyak di antara mereka yang mendalami dan mengambil jalan tarekat. Sebut saja, misalnya, Sunan Gunung Jati, Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang.

Dalam satu diskusi periodik Majelis Wali Songo, sebagaimana terekam dalam kitab Pananggalaning Ngilmu—sebuah kitab yang berisi kumpulan wejangan para wali peserta diskusi—tercatat bahwa Sunan Giri mengulas tentang ananing Dzat (keadaan Dzat); Sunan Gunung Jati membahas kasentosaing iman (kesentosaan iman), dan Sunan Kalijaga mengulas tata malige ing baitul mal. Sedangkan Syekh Siti Jenar membahas sasahidaning dumados (kesaksian dari kejadian atau mahluk).

Syekh Siti Jenar melontarkan buah renungannya, yang kemudian dikenal sebagai konsep syahadat mutaawwila atau sasahidan. Syahadat mutawwila berbunyi: Asyhadu anla ilala illa huwa (Tidak ada Tuhan selain Dia). Sasahidan adalah ajaran “pemberian kesaksian” (syahid) bahwa keberadaan makhluk,  yaitu segala ciptaan yang tergelar di alam dunia—seperti bumi, langit, matahari, bulan, bintang, api, angin, air, dan yang lainnya—semua mau menyaksikan bahwa keadaannya yang sekarang merupakan persemayaman Dzat Tuhan yang Mahasuci, menjadi sifat Allah yang Sejati.

Baca Juga :   Sunan Kudus (3): Panglima Perang Demak yang Diliputi Kontroversi

Artikel Terkait

Leave a Comment