samudrafakta.com

Sunan Gunung Jati (2): Perawat Tradisi Halalbihalal

Sunan Gunung Jati menggunakan gamelan sekaten sebagai media penyebaran Islam kepada masyarakat. Biasanya dia menabuh gamelan itu pada momen Idul Fitri dan Idul Adha. Masyarakat yang menonton tabuhan gamelannya harus membayar. Namun, bayarannya bukan dengan uang, melainkan dengan mengucapkan dua kalimat syahadat. ”Karena itulah gamelan itu disebut gamelan sekaten, yang berasal dari kata syahadatain (dua kalimat syahadat),” imbuh P.R.A. Arief Natadiningrat.

Sementara itu, menurut Dadan Wildan, sebagaimana ditulisnya dalam Sunan Gunung Jati (2012), metode dakwah yang Sunan Gunung Jati sangat unik. Antara lain menggunakan perantara pepatah-pepitih yang sampai saat ini masih sering didengar masyarakat Cirebon. Ajaran kebaikan dituangkannya dalam jawokan atau pepatah dalam istilah Cirebon, seperti “ingsun titip tajug lan fakir miskin” dan sugih bli rerawat, mlarat bli gegulat”.

Ingsun titip tajug lan fakir miskin secara harfiah berarti “saya titip tajug—istilah untuk mushala atau langgar yang dipergunakan di Cirebon—dan fakir miskin”.  Kalimat singkat itu terpampang di salah satu sudut area makam Sunan Gunung Jati di Cirebon, tepatnya di dinding serambi Masjid Agung Gunung Jati. Melalui wasiat tersebut, Sunan Gunung Jati mengajarkan untuk saling menjaga rumah ibadah atau tempat tempat pendidikan.

Baca Juga :   Wali Songo Tidak Hanya Satu Generasi

Maka dari itu, tak heran bila Sunan Gunung Jati meninggalkan jejak bangunan masjid, langgar, petilasan, dan tempat-tempat lain yang berkaitan dengan tajug. Bahkan, mahar Sunan Gunung Jati kepada istrinya, Nyi Pakungwati, berupa masjid, yaitu Masjid Agung Sang Cipta Rasa. Masjid ini dibangun sekitar tahun 1480 M dalam rangka menyokong syiar Islam.

Sunan Gunung Jati juga mengajarkan cara membantu fakir dan miskin. Bagi yang mampu wajib mengangkat yang lemah secara ekonomi maupun politik. Inti wasiat Sunan Gunung Jati ini adalah, tajug dan fakir miskin—sebagai ruang ibadah sekaligus ruang pendidikan dan ekonomi—harus dijaga dan diperhatikan.

Sementara wasiat “sugih bei rerawat, mlarat beli gegulat” secara harfiah berarti “kaya bukan untuk pribadi, miskin tidak untuk menjadi beban bagi orang lain”. Maksudnya, ketika diberi rezeki lebih, seseorang harus menyadari bahwa ada hak orang lain, khususnya fakir dan miskin, di dalam rezeki tersebut. Dan ketika belum mendapatkan rezeki yang cukup, tidak boleh membebani orang lain—apalagi sampai melakukan hal yang menyimpang dari norma sosial dan agama.

Baca Juga :   Beda Penentuan Awal Ramadhan Bikin Dua Sunan Berseteru, Namun Negara Tetap Bersatu

Artikel Terkait

Leave a Comment