samudrafakta.com

Sumbu Kosmologis Yogyakarta: Pengingat Relasi Antara Tuhan, Manusia, dan Alam Semesta   

Sumbu Kosmologis Yogyakarta dan semua Penanda-penanda Bersejarahnya diakui oleh The United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) sebagai Warisan Budaya Dunia ke-6 di Indonesia dalam kategori budaya. Sebuah garis imajiner yang membawa pesan-pesan tentang hubungan Tuhan, manusia, dan alam semesta.

Keputusan memasukkan Sumbu Kosmologis Yogyakarta sebagai warisan budaya dunia ini diumumkan pada pertemuan Komite Warisan Dunia UNESCO ke-45, 18 September 2023 di Riyadh, Arab Saudi. Setelah melalui evaluasi yang cermat oleh Tim Ahli UNESCO, Komite Warisan Dunia UNESCO pun secara bulat mendukung pencatatan Sumbu Kosmologi Yogya sebagai Warisan Dunia.

Indonesia, dalam sidang tersebut, diwakili oleh Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh (LBBP) RI untuk Arab Saudi, Abdul Aziz Ahmad, didampingi Wakil Delegasi Tetap RI untuk UNESCO Ismunandar, serta Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Paku Alam X. Ada juga delegasi Indonesia lainnya bersama mereka.

Wakil Gubernur DIY, Paku Alam X, dengan bangga menyatakan bahwa Sumbu Kosmologis adalah bukti kekayaan peradaban masyarakat Jawa yang telah berkembang sejak abad ke-18. “Ini (Sumbu Kosmologis Yogyakarta) merupakan wujud konsep filosofis Jawa yang kompleks tentang keberadaan manusia,” ujar Paku Alam X, dikutip Kamis, 21 September 2023.

Baca Juga :   Wali Songo adalah Fakta Sejarah
Peta Sumbu Kosmologis Yogyakarta. (Sumber Gambar: Buletin Pelestarian Warisah Budaya dan Cagar Budaya “Mayangkara” Edisi 2/2016)

Menurut Paku Alam X, selama tiga dekade terakhir Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat telah menjadi pusat peradaban masyarakat Jawa, yang menghimpun dan mewarisi berbagai tradisi dan praktik kebudayaan, mencakup aspek pemerintahan, hukum adat, seni, literatur, festival, dan upacara ritual.

Sementara Duta Besar LBBP RI untuk Arab Saudi Abdul Aziz menegaskan pentingnya menjaga dan mewariskan warisan yang baru saja ditetapkan ini kepada generasi yang akan datang. Dalam sambutannya, Abdul Aziz mengungkapkan rasa terima kasih dan kebanggaannya atas pengakuan Sumbu Kosmologis Yogyakarta, yang merupakan harmonisasi sempurna antara benda-benda bersejarah dan nilai-nilai takbenda yang mendalam.

Sementara itu, Direktur Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, Hilmar Farid menyampaikan bahwa pengusulan Sumbu Kosmologis Yogyakarta dan Penanda Bersejarahnya sudah dimulai sejak 2014. Pemprov DIY bersama Ditjen Kebudayaan dan para pemangku kepentingan lainnya meneliti, membahas, dan menetapkan nilai penting universal dari Sumbu Kosmologis Yogyakarta, dan penanda bersejarahnya.

Atribut yang masuk dalam Penanda Bersejarah tersebut antara lain:

  • Panggung Krapyak
  • Sumbu Kosmologis Selatan (Jalan Gebayanan)
  • Dinding, Gerbang, dan Kubu Pertahanan Plengkung Nirbaya, Plengkung Jagabaya, Plengkung Jagasura, dan Plengkung Tarunasura
  • Jokteng Kulon, Jokteng Lor, dan Jokteng Wetan
  • Kompleks Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat
  • Alun-alun Selatan
  • Alun-alun Utara
  • Kompleks Tamansari Kompleks Masjid Gede
  • Sumbu Kosmologis Utara (Jl. Pangurakan, Margomulyo, Malioboro, dan Margoutomo)
  • Pasar Beringharjo Kompleks Kepatihan Monumen
  • Tugu Yogyakarta.
Baca Juga :   Ternyata Kepribadian Seseorang Juga Bisa Dilihat dari Bentuk Jari Kakinya Lho
Mengenal Makna Sumbu Kosmologis

Menurut Yuwono Sri Suwito, dalam artikel berjudul Mengenal Sumbu Imajiner dan Sumbu Filosofi Keraton Yogyakarta, dalam Buletin Pelestarian Warisan Budaya dan Cagar Budaya Mayangkara, edisi 2/2016, Sumbu Kosmologis Yogyakarta lahir seiring dengan lahirnya Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.

Sebagaimana dicatat oleh sejarah Indonesia, lahirnya Kasultanan Ngayogyakarta merupakan hasil Perjanjian Perdamaian atau Traktat Reconciliatie antara Pangeran Mangkubumi—yang bergelar Sultan Hamengku Buwana Senopati ing Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama Kalifatullah—dengan Nicolaas Hartingh yang mewakili VOC. Perjanjian itu dibikin di Desa Giyanti, pada Kamis Kliwon, 29 Rabiul Akhir atau 13 Februari 1755. Perjanjian damai ini dikenal dengan Perjanjian Giyanti atau Palihan Nagari.

Artikel Terkait

Leave a Comment