samudrafakta.com

Tembakau adalah Simbol Penghormatan yang Dibolehkan Syariat

Narasi negatif tentang tembakau dan dampaknya terhadap tubuh berkembang luas karena minimnya wacana alternatif yang mengimbangi pandangan miring itu. Hingga beberapa ulama Islam modern punya pandangan bahwa daun ini haram. Padahal, dalam kitab-kitab lama, termasuk kitab-kitab ulama Islam klasik, tembakau dihukumi mubah atau boleh dikonsumsi.

Syekh Abdul Ghani An-Nablusi (1641-1731 M)—ulama Mazhab Hanafi, munsyi, penulis prosa mistis asal Suriah yang berbaiat tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah kepada Syekh Ahmad Khatib Ibn Abdul Ghaffar al-Sambasi al-Jawi; penulis Kitab Assulhu baynal Ikhwan fi Hukmi Ibahati Syurbid Dukhan—sebagaimana dikutip Syekh Ihsan Jampes dalam Kitab Syarhi Mandzumati Irsyadil Ikhwani li Bayani Syurbil Qahwati wad Dukhan, mengatakan, “…bahwa orang yang bodoh keliru dalam menyebut bahwa tembakau itu merugikan badan dan akal, sehingga tembakau mesti kembali kepada hukum asalnya, yaitu mubah”.

Sedangkan dalam sejarah tanah Jawa, udud atau merokok—salah satu cara memanfaatkan tembakau—bukan semata-mata kesenangan pribadi, tetapi juga menjadi simbol untuk menghormati tamu.

Baca Juga :   Tarif Cukai Hasil Tembakau Naik 10 Persen, Segini Harga Rokok Tahun 2024

Udud adalah hidangan penting yang harus ada—seperti buah pinang dan suruh (sirih). Masyarakat Jawa tidak saja hanya menyajikan secangkir wedang kopi, tetapi juga tembakau untuk dilinting oleh tamunya, sekaligus juga menyediakan lintingan udud dalam bentuk jadi hasil tangan si empunya rumah.

Gambaran ini terekam dalam Serat Centini (1814). Berikut penggalan lariknya:

Sira dhéwé ngladénana nyai | lan anakmu dhénok | gantén êsês wédang daharane | mêngko bagda ngisa wissa ngrakit | dahar kang prayogi | dhayohmu linuhung[Hai dinda, hendaknya engkau sendiri yang melayani | bersama anakmu si upik | dengan sirih, rokok, minuman dan makanan | usai Isya nanti seyogianya engkau telah selesai menyiapkan | makanan yang pantas oleh karena tamumu orang yang mulia”]

Di dalam dua teks sastra klasik itu jelas ditunjukkan bahwa masyarakat Jawa  masa Mataram Islam sudah mengenal fenomena “rokok”. Dan aktivitas merokok itu disebut dengan udud atau sês (ngêsês). Dan merokok adalah simbol penghormatan yang dibolehkan oleh syariat  

Baca Juga :   Pangeran Katandur, Cucu Sunan Kudus yang Merintis Tanaman Tembakau dan Karapan Sapi di Madura

Artikel Terkait

Leave a Comment